09 Desember 2003

Ekspor TPT Pascakuota

Mestinya kita tidak grogi atau bahkan seperti panik manakala beroleh kepastian bahwa selepas tahun 2004, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) kita ke pasar tradisional -- AS, Uni Eropa, dan Kanada -- tak lagi dikenai fasilitas kuota. Toh, sebetulnya, kita memiliki waktu relatif panjang -- 10 tahun -- untuk melakukan langkah-langkah persiapan atau antisipasi menghadapi sistem perdagangan TPT tanpa fasilitas kuota ini.

Sesuai hasil perundingan Putaran Uruguay dalam rangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada 1994, perjanjian tentang perdagangan tekstil dan pakaian jadi disepakati segera diimplementasikan. Artinya, sejak 1994, perdagangan tekstil dan pakaian jadi tak lagi dibatasi oleh sistem kuota.

Tapi perundingan Putaran Uruguay pada 1994 itu juga menyepakati masa peralihan selama 10 tahun bagi implementasi perjanjian tentang perdagangan tekstil dan pakaian jadi ini. Dengan demikian, kesepakatan itu baru berlaku efektif sejak 1 Januari 2005.

Jadi, selama masa peralihan itu pula seharusnya kita gencar melakukan langkah-langkah antisipasi secara nyata dan tajam terarah mengenai ekspor TPT tanpa sistem kuota ini. Masa 10 tahun sebenarnya lebih dari cukup untuk membenahi berbagai masalah internal maupun eksternal yang memungkinkan daya saing TPT kita meningkat. Dengan action plan yang jelas, begitu sistem kuota dalam perdagangan TPT ini efektif dihapuskan sejak 1 Januari 2005, kita sudah siap. Kita tak perlu grogi ataupun panik. Bahkan bukan tidak mungkin, penghapusan sistem kuota ini malah membuat kinerja ekspor TPT kita kian bagus.

Memang, sejatinya, penghapusan sistem kuota merupakan peluang bagi kita untuk meningkatkan volume maupun nilai ekspor TPT. Betapa tidak, karena ekspor TPT ke AS, Uni Eropa, dan Kanada tak lagi dibatasi kuota seperti selama ini. Justru itu, jika di bawah sistem kuota nilai ekspor TPT kita hanya bernilai 5 miliar dolar, misalnya, pascakuota mestinya nilai ekspor itu bisa jauh lebih tinggi. Sebuah survei, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa transaksi perdagangan TPT pascakuota naik sekitar 50 miliar dolar menjadi 400 miliar dolar.

Jadi, mestinya, penghapusan sistem kuota TPT ini kita hadapi dengan penuh gairah. Dengan itu, pada pascakuota kontribusi ekspor TPT terhadap perolehan devisa mestinya bisa lebih signifikan lagi. Jika selama ini nilai ekspor TPT kita total berkisar 5 miliar hingga 7 miliar dolar, pascakuota mungkin bisa melampaui 10 miliar dolar.

Tetapi kita memang bangsa yang selalu cenderung abai dan lalai. Begitu juga dalam konteks ekspor TPT: kita telanjur keenakan oleh sistem kuota. Masa peralihan selama 10 tahun sejak 1994 bukan benar-benar kita manfaatkan untuk melakukan langkah-langkah antisipasi, melainkan kita justru terbuai oleh mimpi yang kita bangun sendiri: AS, Uni Eropa, dan Kanada memerpanjang sistem kuota impor TPT.

Mimpi itu kian gamblang tercuatkan lewat upaya lobi yang dilakukan tim pemerintah baru-baru ini kepada tiga negara yang selama ini memberlakukan kuota impor TPT. Kita baru terhenyak dan sadar setelah ketiga negara yang selama ini menjadi pasar tradisional ekspor TPT kita memberi kepastian bahwa mereka tak akan memerpanjang sistem kuota. Maka kita pun jadi grogi dan panik. Sejumlah industri TPT di Bandung, misalnya, serta-merta dikabarkan segera banting stir ke sektor usaha lain karena mereka menyadari betul bahwa produk mereka tak bakal mampu bersaing di tengah pasar pascakuota ini.

Kenyataan itu tampaknya bukan sekadar soal sikap mental yang tidak siap bersaing, melainkan juga merupakan cerminan bahwa daya saing TPT kita memang payah. Bahkan kalaupun sistem kuota tidak dihapuskan, TPT kita pasti keok oleh produk Cina, India, Vietnam, dan Bangladesh. Buktinya, selama ini pangsa ekspor TPT kita ke pasar di luar negara yang memberlakukan kuota tak pernah membesar -- tetap di bawah 40 persen.

Walhasil, ekspor TPT kita selama ini bisa tetap berkibar memang karena fasilitas kuota impor yang diberlakukan AS, Uni Eropa, dan Kanada. Bisa kita pastikan, setelah kuota efektif dihapuskan, ekspor TPT ke AS, Uni Eropa, dan Kanada langsung rontok. Justru itu, kinerja ekspor TPT secara keseluruhan niscaya menciut. Itu berarti, TPT pun sulit kita harapkan mampu bertahan sebagai primadona penghasil devisa.

Pesimistis, memang. Tapi, agaknya, itu sikap paling realistis. Terlebih lagi karena pemerintah sendiri tak menyiapkan semacam crash program untuk membalikkan kemungkinan dalam sisa waktu 1 tahun sebelum perjanjian penghapusan kuota TPT efektif berlaku. Sementara beberapa gagasan yang dilontarkan pemerintah, dalam kaitan ini, di samping tak terlampau meyakinkan, bukan tidak mungkin hanya akan sekadar menjadi wacana. Padahal masalah internal maupun eksternal yang membelit industri TPT kita begitu kompleks dan akut.***
Jakarta, 09 Desember 2003

05 Desember 2003

Nasib Petani Gabah

Nasib petani padi kita tak pernah baik. Mereka selalu saja dihadapkan pada kondisi yang menekan dan menghimpit. Bahkan panen raya, yang semestinya menjadi kesempatan bagi mereka menangguk keuntungan ekonomis, justru menjadi saat yang mengiris dan menyesakkan. Setiap panen raya tiba, harga gabah selalu saja terpuruk.

Dalam konteks itu, instrumen kebijakan yang disiapkan pemerintah selalu terbukti tidak ampuh. Inpres No 9/2003 yang dikeluarkan pada awal tahun ini, misalnya, hanya indah di atas kertas. Inpres tersebut menyatakan bahwa harga pembelian pemerintah (HPP) dipatok Rp 1.725/kg untuk gabah kering giling (GKG) dan Rp 1.320/kg untuk gabah kering panen (GKP).

Namun pada musim panen April-Mei lalu, harga gabah berkualitas seadanya (kadar air di atas 20 persen, kadar kotor di atas 10 persen) tidak sampai Rp 1.000/kg. Walhasil, kebijakan perberasan yang tertuang dalam Inpres No 9/2003 ini melenceng dari sasaran. Alih-alih menikmati untung, petani pun banyak yang dibuat pusing tujuh keliling karena biaya produksi yang telanjur mereka keluarkan nyaris tak tertutup.

Panen raya mendatang ini pun kemungkinan tetap menjadi siklus yang menyengsarakan petani. Bahkan belum apa-apa, harga beras kini sudah tertekan -- bahkan cenderung turun. Badan Pusat Statistik (BPS) saja sudah mencatat, selama November lalu harga beras tercatat menurun. Itu pula yang membuat inflasi selama November relatif tetap rendah.

Kenapa harga beras kini cenderung turun, sementara panen raya belum lagi tiba? Ternyata itu karena beras impor telanjur membanjiri pasar. Justru itu pula, saat panen raya tiba nanti, harga gabah di tingkat petani pasti jeblok tak tertahankan.

Beras impor memang menjadi momok yang setiap saat menekan harga komoditas itu di dalam negeri. Maklum saja karena arus beras impor sulit sekali dibendung. Impor beras saat ini hanya berdasarkan nomor pengenal importir khusus (NPIK). Jadi, tak ada izin spesifik yang harus dikantungi importir. Mereka cukup sekadar mendaftar: bahwa mereka mengimpor beras.

Kalau saja stok beras di dalam negeri dalam kondisi tipis, arus masuk beras impor ini tidak masalah -- bahkan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga harga bahan pokok tersebut tidak melambung tinggi. Tetapi ketika stok beras nasional relatif memadai seperti saat ini, terus panen raya padi juga tak lama lagi dijelang, impor beras tentu terasa mengherankan.

Dalam konteks itu pula kita bisa memahami pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI) Siswono Yudhohusodo yang mencurigai upaya terselubung dan sistematis di balik arus deras impor beras sekarang ini. Upaya tersebut, katanya, jelas merujuk pada penghancuran harga gabah di tingkat petani.

Kalau saja asumsi itu benar, kita sungguh dibuat terpana karena Perum Bulog pun ikut andil dalam mengalirkan beras impor di saat stok memadai dan panen raya segera tiba ini. Kita terpana, karena selaku instansi pemerintah mestinya Bulog menyadari betul bahwa impor beras saat ini sungguh tidak produktif bagi kepentingan nasional.

Di samping, menekan harga gabah yang menjadi tumpuan harapan petani, langkah itu secara tidak langsung juga memberi kesan seolah Bulog tidak percaya terhadap sasaran yang dibuat Deptan menyangkut produksi gabah. Padahal Deptan sendiri sudah berulang kali berupaya meyakinkan bahwa sasaran produksi gabah pada tahun depan sebesar 53 juta ton hampir pasti bisa tercapai.

Tapi kenyataan itu juga menorehkan kenyataan lain: koordinasi di jajaran pemerintahan memang amat lemah. Egoisme sektoral, dalam konteks ini, mungkin menjadi salah satu sebab. Mungkin juga faktor patronase berbau politis turut pula berbicara. Yang pasti, menyadari betapa koordinasi antarjajaran pemerintahan ini begitu lemah, kita tak bisa lain kecuali harus mengelus dada.

Kita semakin trenyuh mengingat nasib petani gabah kita, karena pemerintah sendiri terkesan belum menemukan formula kegijakan yang benar-benar jitu dan handal. Memang, dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, Menperindag sudah sampai pada keputusan untuk segera pengaturan impor dan menaikkan bea masuk beras pada musim panen mendatang.

Tetapi, seperti pendapat kalangan analis, kebijakan tersebut sulit diharapkan benar-benar efektif. Apa mau dikata: beras impor telanjur membanjir. Bahkan, sangat boleh jadi, arus impor beras saat ini justru merupakan antisipasi pengusaha terhadap langkah pemerintah menaikkan bea masuk dan mengatur impor.

Jadi, nasib petani gabah kita entah kapan bisa membaik.***
Jakarta, 05 Desember 2003