29 Juli 2003

Tren Depresiasi Rupiah

Fluktuasi kurs sebenarnya soal biasa. Nilai tukar dolar AS saja tak senantiasa perkasa. Pada saat tertentu, kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama lain di dunia bisa tersungkur tanpa daya. Lalu pada saat lain, nilai tukar mata uang tersebut kembali menguat perkasa -- sampai pada saatnya melemah kembali. Begitu seterusnya ganti-berganti.

Karena itu, soal fluktuasi kurs ini mestinya tak mengundang heboh -- apalagi membuat panik. Fluktuasi adalah gejala normal: pertanda bahwa mekanisme pasar berjalan.

Tapi bagi rupiah, fluktuasi nilai tukar hampir selalu mengundang heboh. Juga menerbitkan kecemasan, waswas, rasa miris, sangsi, bingung, atau bahkan panik. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung menguat signifikan, banyak kalangan dibuat gundah. Terutama bagi kalangan eksportir, kurs rupiah yang kokoh kuat adalah petaka karena daya saing berbagai komoditas ekspor jadi melorot.

Begitu juga ketika kurs rupiah cenderung melemah seperti terjadi belakangan ini: kehebohan lagi-lagi merebak. Kecemasan, kesangsian, atau kepanikan serta-merta membayang. Spekulasi pun mengental di benak banyak kalangan: seakan-akan depresiasi rupiah ini adalah awal krisis moneter seperti pada 1997 silam.

Memang, pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS dalam sepekan terakhir memastikan depresiasi bergulir dalam hitungan berarti. Nilai tukar rupiah terus menggelincir dari Rp 8.240 per dolar AS pada posisi dua pekan silam menjadi Rp 8.515 per dolar pada penutupan perdagangan Jumat lalu. Bahkan kalau saja Bank Indonesia tidak mengguyurkan dolar ke pasar, nilai tukar rupiah ini pasti lebih jeblok lagi.

Terus-terang, kita ragu terhadap asumsi yang menyebutkan bahwa depresiasi rupiah kali ini terkait dengan aksi kalangan korporat memburu dolar AS dalam rangka membayar utang. Mungkin benar, kalangan korporat dihadapkan pada kebutuhan mendesak berupa membayar utang yang segera jatuh tempo. Tapi kita tidak yakin bahwa kebutuhan tersebut merupakan penyebab aksi buru dolar AS.

Apa yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa aksi buru dolar AS oleh kalangan korporat ini merupakan cermin kepanikan mereka atas pergerakan rupiah yang belakangan cenderung melemah. Sebagai tindakan antisipasi mengamankan risiko kurs dalam rangka membayar utang, mereka berlomba memburu dolar AS. Tapi justru karena itu pula, rupiah malah kian deras terdepresiasi.

Dengan kata lain, aksi buru dolar itu justru merupakan faktor yang kian memacu nilai tukar rupiah semakin tergelincir. Justru itu pula, boleh jadi tekanan terhadap kurs rupiah ini masih akan terus berlangsung. Makin kencang ksi buru dolar AS, kurs rupiah kian tertekan. Nilai tukar yang semakin terdepresiasi pun, pada gilirannya, kian membuat panik kalangan korporat hingga mereka lebih membabi-buta memburu dolar AS.

Atas dasar itu pula, Bank Indonesia pun merasa perlu melakukan intervensi ke pasar. Untuk menahan kurs rupiah tidak semakin jeblok oleh tindakan spekulasi, Bank Indonesia menggelontorkan dolar ke pasar uang. Tapi sampai kapan itu beralasan dilakukan jika tekanan spekulasi ternyata tak kunjung surut?

Awalnya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah ini dipicu oleh kalangan investor asing memindahkan portofolio mereka ke denominasi dolar AS. Tapi mestinya itu tak serta-merta menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan korporat kita yang masih memikul beban utang luar negeri. Toh tindakan kalangan investor asing mengalihkan portofolio investasi dalam denominasi rupiah ke dolar AS ini bukan tanpa alasan mendasar. Yakni karena rupiah sebagai alternatif investasi sudah kehilangan daya tarik akibat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sudah melorot di bawah level 10 persen.

Bahwa Bank Indonesia terus menurunkan tingkat bunga SBI hingga mencapai 9,17 persen, itu sebenarnya bukan tindakan salah. Bahkan langkah tersebut strategis: untuk merangsang perbankan nasional menjalankan fungsi intermediasi yang akan membuat sektor riil segera bergerak kembali.

Namun kenapa tingkat bunga SBI ini seolah menjadi biang penyebab kepanikan pasar hingga terjadi aksi buru dolar AS, padahal tindakan tersebut justru menekan nilai rukar rupiah? Boleh jadi, kecenderungan itu merupakan cermin ketidakpercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi nasional. Pasar tidak pede mengenai kondisi ekonomi kita saat ini maupun masa datang. Meski secara keseluruhan fundamental ekonomi kita sekarang sudah bagus, pasar tetap saja merasa tidak tenang dan tidak nyaman oleh tren depresiasi rupiah belakangan ini -- dan karena itu pasar dilanda waswas serta panik.

Pasar tidak pede mengenai kondisi ekonomi nasional, karena pemerintah sendiri terkesan gamang dalam mengambil keputusan menyangkut kondisi-kondisi strategis dan mendesak. Konsep exit strategy pascakontrak IMF, misalnya, hingga kini dibiarkan menggantung. Pemerintah terkesan tidak memiliki keyakinan mengenai opsi yang harus dipilih. Antarpejabat tinggi malah asyik bersilang pendapat dan seperti lupa bahwa keputusan mengenai opsi exit strategy harus segera diambil.***
Jakarta, 29 Juli 2003

18 Juli 2003

Nasib Petani Tebu

Setelah tempo hari melambung ke level yang terbilang abnormal, kini harga gula di dalam negeri mulai condong bergerak ke ekstrem yang lain. Kini harga gula terus melorot. Melihat kecenderungan yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir, tidak ada jaminan bahwa harga gula ini dalam waktu dekat tak akan jeblok lagi seperti tahun-tahun lalu.

Sekarang ini saja, menurut berbagai laporan, harga gula di dalam negeri terus meluncur turun mendekati harga patokan lelang sebesar Rp 3.410 per kg. Kalau saja pemerintah tak segera melakukan langkah-langkah pengamanan, sangat mungkin harga patokan itu bablas terlewati seperti tahun lalu yang menyentuh level terendah Rp 2.639 per kg. Itu jelas akan menjadi tragedi bagi petani tebu kita. Mereka bukan saja gagal menikmati untung, melainkan malah justru menderita buntung: karena biaya produksi yang mereka keluarkan rata-rata mencapai 3.000-an per kg.

Sebetulnya, perkembangan yang mengancam harga gula di dalam negeri ini merupakan tantangan bagi Perum Bulog. Selaku lembaga yang ditugasi pemerintah menyangga stabilitas harga pangan strategis seperti gula, Bulog jelas amat diharapkan mampu berperan efektif: menyelamatkan nasib petani tebu. Intinya, Bulog harus bisa membendung harga gula tak sampai terus bablas turun ke level yang amat merugikan petani tebu. Paling tidak, Bulog harus bisa mempertahankan harga gula ini di level harga lelang yang mereka sepakati bersama kalangan petani tebu dan produsen gula: Rp 3.410 per kg.

Untuk itu, Bulog memang sudah memiliki rencana melakukan pembelian gula milik petani sebanyak 270.000 ton. Tapi, amat boleh jadi, langkah Bulog membeli gula petani ini tak banyak membantu menyelamatkan perkembangan. Harga gula mungkin terus meluncur turun tak terbendung. Betapa tidak, karena di lain pihak pemerintah -- dalam konteks ini Depperindag -- telanjur mengeluarkan izin impor gula kasar (raw sugar) sebanyak 220.000 ton. Izin impor ini diberikan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebanyak 80.000 ton, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X sebanyak 120.000 ton, dan PTPN XI sebesar 20.000 ton.

Karena itu pula, Bulog meminta pemerintah agar menunda impor gula sebanyak 220.000 ton itu. Tapi Menperindag Rini Soewandi tandas menyatakan bahwa izin impor itu tak mungkin ditunda ataupun dibatalkan. Dengan kata lain, impor gula kasar sebanyak 220.000 ton ini akan mengalir deras masuk ke pasar dalam negeri.

Menteri Rini tak menjelaskan alasan yang membuat dia tak bisa menunda atau membatalkan izin impor gula kasar itu -- meski dia sendiri mengakui bahwa stok gula di pasar dalam negeri sudah relatif melimpah. Yang pasti, impor gula kasar dalam jumlah signifikan itu jelas akan amat menekan harga gula di dalam negeri.

Dalam konteks ini, kalangan petani tebu pun sulit diharapkan bisa menikmati harga yang masih cukup memberi keuntungan. Terlebih, di sisi lain, gula impor selundupan pun terus mengalir deras membanjiri pasar. Justru itu, bukan mustahil petani tebu ini harus menerima nasib buntung: harga gula terjerembab ke level di bawah ongkos produksi yang mereka keluarkan.

Bahwa industri gula kita harus mengimpor gula kasar, barangkali itu memang kebutuhan atau tuntutan kondisional yang sulit dihindari. Yakni agar industri bersangkutan mampu mencapai efisiensi produksi. Dalam konteks ini, beleid pemerintah tentang tata niaga gula (SK Menperindag No 643/MPP/Kep/9/2002) menggariskan bahwa izin impor diberikan terhadap industri gula nasional yang menggunakan bahan baku (tebu) eks petani lokal minimal 75 persen kapasitas produksi.

Tetapi jika aturan main itu diterapkan tanpa memperhatikan kondisi nyata di lapangan, langkah industri gula mengimpor raw sugar ini jelas jadi kontra produktif. Itu pula, agaknya, yang terjadi sekarang ini. Impor gula kasar sebanyak 220.000 ton tetap dilakukan justru ketika musim giling tebu milik petani sedang berlangsung. Bagaimanapun, secara psikologis, itu membuat harga lelang gula milik petani jadi tertekan hebat.

Kita menghargai niat pemerintah yang, konon, segera turun tangan untuk mengamankan harga gula di dalam negeri ini. Meski belum tahu persis langkah pasti ke arah itu, kita percaya bahwa nasib petani tebu merupakan fokus pertimbangan pemerintah. Justru itu, kita amat berharap bahwa langkah pemerintah ini benar-benar efektif: mampu menyelamatkan harga gula hingga tak sampai terperosok di bawah ongkos produksi petani tebu.

Kendati demikian, kita tetap tak bisa menghilangkan rasa heran oleh sikap pemerintah yang tak tergerak menutup sementara kran impor gula kasar oleh kalangan produsen pada saat sekarang ini. Kita menangkap kesan, pemerintah seolah menutup mata atas kenyataan bahwa musim giling tebu di dalam negeri sedang dan masih akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Apakah itu bukti kepedulian terhadap wong cilik hanya setengah hati?***
Jakarta, 18 Juli 2003

15 Juli 2003

Persepsi Sektor Riil

Mengherankan! Sektor riil ternyata cenderung enggan menyerap kredit perbankan. Data di Bank Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar Rp 80 triliun kredit yang sudah menjadi komitmen perbankan nasional tak kunjung dicairkan (undisbursed loan) oleh dunia usaha.

Kenyataan tersebut jelas mengundang tanya. Itu sekaligus menjungkirkan asumsi kita selama ini: bahwa sektor riil tak kunjung bergerak lagi karena perbankan pelit mengucurkan pinjaman. Bermacam dugaan sempat kita lekatkan terhadap sikap perbankan yang kita vonis pelit menggelontorkan kredit ini. Antara lain, karena perbankan masih trauma oleh risiko kredit macet yang nyaris membangkrutkan ekonomi nasional. Apalagi Bank Indonesia sudah menggariskan kebijakan baru bahwa rasio kecukupan modal (CAR) bank memperhitungan pula risiko pasar. Makin tinggi risiko pasar berkaitan dengan penyaluran kredit, CAR pun jadi menciut.

Di samping itu, kita juga berasumsi bahwa perbankan nasional lebih merasa aman menginvestasikan dana pihak ketiga pada instrumen-instrumen pasar modal -- setelah tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) turun drastis.

Tetapi asumsi-asumsi seperti itu ternyata tak sepenuhnya benar. Perbankan nasional tak kunjung menggelontorkan pinjaman ke sektor riil rupanya bukan semata karena mereka pelit atau terlampau berhati-hati. Sebab, di lain pihak, dunia usaha sendiri tampaknya memang enggan menyerap kredit.

Mungkin secara keseluruhan perbankan nasional belum benar-benar siap mengguyurkan kredit ke sektor riil -- meski mereka sebenarnya tak lagi memiliki cukup alasan untuk tetap bersikap pelit. Tapi jika sedikit komitmen mereka soal kucuran pinjaman ini ternyata tak kunjung dimanfaatkan oleh dunia usaha, tak bisa tidak, kita jadi dibuat terhenyak dan bertanya-tanya. Apa yang sebetulnya terjadi? Apa penjelasan yang bisa kita berikan?

Jika bank sudah setuju memberikan pinjaman, tapi ternyata pinjaman tersebut tak kunjung dicairkan oleh pengusaha bersangkutan, tentu ada yang tidak beres dalam sektor riil ini. Tapi, soalnya, apakah itu?

Dunia usaha adalah sebuah lingkungan yang sarat perhitungan dan kalkulasi. Berbagai variabel selalu ditakar atau ditimbang untuk menentukan laik-tidaknya sebuah peluang bisnis.

Mungkin dalam kerangka itu pula kenapa sektor riil ini cenderung enggan mencairkan pinjaman bank. Boleh jadi, menurut hitung-hitungan bisnis, pemanfaatan pinjaman bank saat ini memang belum tepat -- karena tidak menjanjikan keuntungan, di samping sarat risiko.

Kalau kita perhatikan, tingkat suku bunga pinjaman perbankan nasional kini rata-rata masih di atas 20 persen. Ini masih relatif tinggi. Mungkin benar, tingkat bunga pinjaman tetap bertengger di level tinggi ini karena cost of fund perbankan nasional telanjur bengkak.

Tapi itu sekaligus merupakan cerminan bahwa perbankan kita belum benar-benar efisien. Tak heran jika tingkat bunga SBI yang sudah turun amat signifikan pun sedikit sekali berpengaruh terhadap tingkat bunga pinjaman bank.

Bagi dunia usaha sendiri, tingkat bunga kredit bank langsung berkorelasi dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diraih. Makin tinggi tingkat bunga pinjaman, tingkat keuntungan pun jadi makin kecil.

Itu pada gilirannya menentukan gairah berusaha. Jika peluang memperoleh keuntungan relatif besar demikian sulit dan amat kecil, gampang kita tebak bahwa gairah dunia usaha pun jadi melempem. Terlebih jika lingkungan eksternal tak kondusif atau bahkan mengancam kelangsungan usaha -- bahkan andai itu cuma sebuah persepsi yang belum tentu benar sekalipun.

Dalam konteks itu, perhelatan demokrasi pada tahun depan -- Pemilu 2004 -- mungkin diperhitungkan dunia usaha sebagai faktor eksternal yang membuat prospek bisnis jadi buram. Jika benar, itu jelas memrihatinkan. Bahwa penyelenggaraan pemilu membuat suhu politik nasional jadi meningkat, itu pasti. Namun suhu politik tidak harus selalu membuat roda kehidupan sosial-ekonomi menjadi abnormal.

Tetapi pengalaman kita menggelar pemilu di era reformasi ini -- Pemuli 1999 -- juga memang tidak cukup elok. Ketika itu, suhu politik yang memanas banyak melahirkan kekisruhan dan kekerasan. Bentrok fisik antarmassa pendukung parpol, terutama, merebak di banyak tempat.

Adalah kegagalan pemerintah jika dunia usaha kini waswas mengenai keamanan penyelenggaraan pemilu ini. Seharusnya pemerintah sejak jauh hari sudah berupaya meyakinkan masyarakat bahwa pemilu mendatang terjamin benar-benar tertib dan aman.

Namun, jujur saja, kita tak melihat langkah-langkah ke arah itu diayunkan pemerintah. Masyarakat tak memperoleh kepastian bahwa perhelatan pemilu mendatang tak bakal diwarnai kekisruhan dan kekerasan sosial.

Itu membuat gambaran ekonomi nasional ke depan ini jadi buram. Apalagi, di lain pihak, nasib ekonomi pascakontrak Dana Moneter Internasional (IMF) pun masih juga belum jelas. Memang, pemerintah sudah memiliki beberapa opsi tentang exit strategy ini. Namun berbagai opsi itu mungkin meyakinkan dunia usaha: bahwa ekonomi nasional pasca-IMF benar-benar aman alias tak bakal sarat gejolak.

Karena itu, jangan salahkan jika dunia usaha jadi cemas hingga ragu mengayun bisnis -- sampai-sampai mereka tak berani mencairkan kredit bank.***
Jakarta, 15 Juli 2003

11 Juli 2003

Potret Buram Koperasi

Setiap kali memperingati Hari Koperasi, kita selalu dihadapkan pada sebuah potret buram: bahwa kehidupan koperasi masih saja mengundang prihatin. Potret itu memperlihatkan bahwa degup kehidupan koperasi nyaris tak berubah dibanding tahun-tahun lampau. Bahkan, untuk sejumlah kasus, kehidupan koperasi ini malah menunjukkan kemunduran. Dibanding pelaku-pelaku lain ekonomi-bisnis dalam tataran nasional, kehidupan koperasi tetap saja tertinggal dalam posisi marginal.

Begitu juga pada peringatan Hari Koperasi tahun ini, yang jatuh Sabtu besok, potret itu masih juga belum berubah: tetap buram. Padahal setiap kali potret buram itu terpampang di depan kita, berbagai gagasan atau pemikiran tumpah-ruah. Sikap-tindak di level kebijakan, terutama, diperbarui. Itu, paling tidak, berupa semangat mengusung perbaikan dan pembaruan.

Tapi toh itu semua seolah tak punya dampak. Kehidupan koperasi tetap saja marginal. Kalaupun kemajuan tertoreh, itu bukan merupakan sebuah lompatan. Bukan sebuah perubahan signifikan. Ibarat gerak bekicot, kemajuan yang ditunjukkan koperasi itu lebih merupakan sekadar pergeseran kecil.

Dari sisi komitmen pengambil kebijakan, sebenarnya, koperasi ini sudah banyak diuntungkan. Anggaran yang disediakan pemerintah, misalnya, relatif selalu besar. Bahkan di era awal pemerintahan Orba dulu, pemerintah begitu jor-joran menaburkan bantuan finansial bagi gerakan koperasi ini. Namun itu sedikit sekali memberi bekas bagi perkembangan kualitatif perkoperasian secara keseluruhan. Itu tadi, kehidupan koperasi secara kualitatif tetap saja marginal.

Kenyataan itu menumbuhkan kesan bahwa kiprah gerakan koperasi di Indonesia ini seolah tak punya akar dan tak berpijak pada konsep. Kehidupan koperasi di Indonesia seperti bergerak tanpa arah jelas dan pasti.

Itu membuat posisi koperasi begitu rentan terhadap pergerakan lingkungan eksternal yang melahirkan persaingan bisnis demikian keras. Berbeda dengan usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi tak memiliki kesanggupan bertahan dalam situasi dan kondisi sulit.

Ketika badai krisis ekonomi menerjang hebat, misalnya, gerakan koperasi ikut-ikutan terpuruk. Kenyataan tersebut bahkan masih terasa hingga sekarang. Entah berapa banyak koperasi yang tersungkur dan tak mampu bangkit lagi. Padahal jajaran UKM justru mampu menunjukkan daya lenting luar biasa: mereka mampu bertahan, bahkan belakangan menjadi motor yang membuat roda ekonomi nasional tak sampai berhenti total.

Itu tentu mengherankan karena dalam segi skala usaha, UKM dan koperasi tak berbeda. Dalam skala usaha, koperasi adalah UKM juga. Tapi kenapa dalam soal kinerja, koperasi dan UKM menunjukkan kenyataan berlainan? Kenapa UKM memiliki daya lenting luar biasa dalam menghadapi situasi dan kondisi ekonomi sulit, sementara koperasi nyaris seperti usaha besar: rapuh bak istana pasir?

Lalu, di mana letak kelemahan yang membuat kehidupan koperasi ini terkondisi tetap marginal? Apakah itu terletak dalam segi konsep kebijakan? Ataukah dalam aspek strategi operasional? Atau mungkinkah kelemahan itu terkait dengan faktor sikap mental dan kultur gerakan koperasi sendiri yang telanjur keenakan dalam kondisi serba diproteksi dan disuapi?

Patut kita akui, perjalanan gerakan koperasi di Indonesia memang sarat dengan proteksi dan pemanjaan-pemanjaan. Didasari pemikiran dan kepentingan yang bersipat kosmetik politik, terutama selama masa Orba, koperasi diperlakukan sebagai obyek yang harus dijaga dan dipelihara dengan segala taburan aneka fasilitas. Justru itu, kita melihat perkembangan koperasi menjadi semu dan rapuh. Koperasi hanya menjadi bilangan bonsai di atas kertas -- bukan sebuah kekuatan ekonomi berwatak kerakyatan sebagaimana cita-cita Bapak Koperasi kita, Bung Hatta.

Gelora reformasi mestinya membantu memperbaiki keadaan. Tapi, apa lacur, reformasi ternyata hanya melahirkan eforia yang membuat koperasi bisa disulap dalam sekejap sesuai kebutuhan. Reformasi juga hanya memperlakukan koperasi sebagai kuda tunggangan bagi petualang-petualang politik.

Sosok koperasi sendiri tetap tak berubah: rapuh dan manja. Dalam perjalanan yang sudah melebihi setengah abad ini, koperasi masih saja cenderung hanya bisa bergerak kalau dihela dengan fasilitas-fasilitas. Mending kalau gerak itu sendiri terbilang mengesankan. Apa yang terjadi, gerak itu justru lebih banyak sekadar langkah siput. Sementara langkah yang mengesankan acap terbukti semu.

Tetapi mungkin mengharapkan koperasi tampil sebagai sokoguru ekonomi nasional sebagaimana cita-cita para pendiri negeri ini bukan utopia. Untuk itu, koperasi jangan lagi diperlakukan sebagai bonsai yang harus selalu ketat dilindungi dan ditaburi pupuk. Juga, koperasi jangan lagi diperlakukan sebagai kuda tunggangan para petualang politik.

Dengan kata lain, semangat dan strategi pembangunan koperasi harus ditempatkan dalam format yang lebih mengondisikan proses pendewasaan alamiah. Dengan demikian, potret buram kehidupan koperasi kita bisa diharapkan berangsur-angsur pudar.***
Jakarta, 11 Juli 2003

10 Juli 2003

Pajak Valas

Sebagai obyek pajak, transaksi valuta asing (valas) memang amat menggiurkan. Betapa tidak, karena frekuensi maupun volume transaksi valas terbilang sangat tinggi. Pada tahun 2001, misalnya, rata-rata transaksi valas di pasar dunia mencapai sekitar 1,2 triliun dolar AS per hari.
Di dalam negeri sendiri, transaksi valas ini juga tak bisa dipandang remeh. Meski sulit memeroleh angka resmi, rata-rata transaksi harian valas di pasar dalam negeri jelas amat besar. Itu pula, tampaknya, yang mendorong Dirjen Pajak melontarkan gagasan tentang pajak atas transaksi valas. Kita serta-merta menangkap kesan bahwa di balik gagasan tersebut, Dirjen Pajak tergiur memanfaatkan transaksi valas untuk menambah penerimaan negara. Motif tersebut, di tengah tantangan yang kian menempatkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, memang sungguh terasa beralasan.
Sebenarnya, gagasan tentang pengenaan pajak atas transaksi valas ini bukan soal baru. Bahkan pemerintah sendiri pernah meluncurkan kebijakan tersebut. Ketika krisis ekonomi-moneter sedang benar-benar menggila (1998), Menkeu Fuad Bawazier ketika itu menerbitkan kebijakan tentang pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas pembelian valas. Dalam Kepmenkeu itu diputuskan bahwa setiap pembelian valas dikenai PPh 5 persen dari nilai bruto.
Namun karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang nyata-nyata tidak setuju, kebijakan itu tak berumur panjang. Menkeu terpaksa mencabut keputusan tentang pengenaan PPh atas pembelian valas ini persis pada tanggal dinyatakan mulai berlaku (23 Maret 1998).
Tapi berbeda dengan motif yang disiratkan Dirjen Pajak saat ini -- pajak atas transaksi valas amat potensial menambah penerimaan negara --, kebijakan Menkeu ketika itu meluncurkan pengenaan PPh atas setiap pembelian valas justru dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah. Melalui kebijakan itu, pemerintah berupaya mengamankan sistem keuangan nasional dengan mengurangi volatilitas kurs rupiah yang kala itu habis-habisan digoyang aksi spekulasi para pemain pasar uang.
Tampaknya, gagasan tentang pengenaan pajak atas transaksi valas yang dilontarkan Dirjen Pajak sendiri tidak sampai merujuk pada upaya pemerintah mengamankan aksi spekulasi terhadap kurs rupiah. Gagasan itu lebih mencerminkan keinginan Dirjen Pajak untuk menangguk potensi menggiurkan penerimaan pajak dari setiap transaksi valas.
Apakah itu pertanda pemerintah menyadari bahwa pajak atas transaksi valas sulit diharapkan efektif mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah? Ataukah pemerintah kini sudah merasa yakin bahwa stabilitas nilai tukar rupiah sudah aman dari risiko transaksi jangka pendek yang pekat berbau spekulasi -- meski arus modal jangka pendek ke dalam negeri belakangan ini justru cenderung mengalir deras? Entahlah.
Yang pasti, sejumlah kalangan melihat bahwa pajak atas transaksi valas -- jika dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengamankan kurs rupiah dari aksi kalangan spekulan -- niscaya akan sia-sia. Kebijakan tersebut hanya bisa efektif membatasi ruang gerak transaksi-transaksi valas yang bersipat jangka pendek jika diterapkan menyeluruh di berbagai belahan dunia. Kalau hanya diterapkan di Indonesia, kalangan pelaku pasar uang akan mudah berkelit. Dengan memasuki pasar derivatif melalui layanan asing, misalnya, mereka bisa tetap mempermainkan rupiah tanpa harus terjun langsung di pasar spot di dalam negeri.
Justru itu pula, di sisi lain, potensi penerimaan pajak yang diincar Dirjen Pajak pun malah tak sepenuhnya tersentuh. Bagaimana mungkin transaksi valas bisa dikenai pajak jika aktivitas itu sendiri tidak dilakukan para pemain di pasar spot dalam negeri. Kebijakan mengenakan pajak atas transaksi valas ini niscaya hanya mampu menyentuh pihak-pihak yang aktif menggunakan valas untuk kepentingan bisnis di sektor riil. Jajaran eksportir dan importir, misalnya, jelas akan menjadi pihak yang paling empuk terkena kebijakan itu.
Jika semata melihat perpektif jangka pendek, kenyataan itu memang tak bakal jadi soal. Dengan mengenakan pajak atas setiap transaksi valas, pemerintah bisa segera menangguk penerimaan pajak dalam jumlah yang boleh diandalkan lumayan signifikan.
Tetapi karena pihak yang terkena kebijakan itu cenderung terbatas di kalangan mereka yang aktif memanfaatkan valas untuk kepentingan bisnis di sektor riil, pajak atas transaksi valas ini serta-merta menjadi beban baru bagi dunia usaha. Biaya transaksi ekspor atau impor, misalnya, otomatis jadi meningkat.
Karena itu, pengenaan pajak atas transaksi valas ini akan terasa menjadi disinsentif bagi kegiatan investasi di dalam negeri. Padahal sekarang ini iklim investasi di negeri kita kalah atraktif dibanding di negara-negara tetangga karena sudah miskin insentif. Justru itu, kalau saja transaksi valas pun kemudian dikenai pajak, iklim investasi di negeri kita niscaya kian tak menarik. Bukankah dalam jangka menengah dan panjang kenyataan itu memukul sektor perpajakan sendiri?
Jakarta, 7 Oktober 2003


08 Juli 2003

Penyelesaian BLBI

Kita patut lega oleh kesepakatan pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan DPR tentang penyelesaian politis masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bagaimanapun, kesepakatan tersebut memutus segala tarik-ulur yang begitu melelahkan sekaligus telah mengondisikan ketidakpastian mengenai penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini.

Ketidakpastian itu merisaukan karena proses penyelesaian sudah berlangsung lama, yakni tiga tahun lebih. Selama itu, banyak waktu dan energi terkuras. Sementara, di lain pihak, beban BLBI kian menggunung dan amat membebani APBN.

Kini, dengan tercapainya kesepakatan politis penyelesaian masalah BLBI ini, tekanan pembayaran BLBI yang harus ditanggung APBN jelas berkurang. Tekanan itu sendiri, terutama pada tahun anggaran 2004, niscaya sungguh amat menyesakkan karena pada tahun depan kita tak lagi bisa menikmati fasilitas penjadwalan ulang (rescheduling) utang di forum Paris Club.

Forum tersebut, memang, sulit diharapkan memberikan lagi fasilitas rescheduling utang sebagai konsekuensi berakhirnya kontrak kerjasama pemerintah dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun ini.

Konsep penyelesaian BLBI senilai Rp 144,5 triliun yang disepakati pemerintah, BI, dan DPR itu sendiri merujuk pada penerbitan surat utang pemerintah dengan masa jatuh tempo 30 tahun dan berbunga 0,01 persen per tahun. Itu yang membuat tekanan beban penyelesaian BLBI terhadap APBN menjadi jauh berkurang. Untuk itu, ketiga lembaga tersebut menyepakati enam butir kerangka penyelesaian BLBI.

Pertama, berdasarkan audit BPK, dinyatakan bahwa kebijakan BLBI dirumuskan bersama pemerintah dan BI saat krisis.
Kedua, penyelesaian BLBI mengacu pada audit BPK senilai Rp 144,5 triliun. Sementara soal dana sebesar Rp 14,5 triliun masih menunggu hasil audit lebih lanjut BPK.

Ketiga, untuk meringankan APBN dan neraca BI, Komisi IX DPR menyarankan agar surat utang yang diterbitkan pemerintah kepada BI disetrukturisasi dalam jangka panjang. Keempat, untuk mencapai recovery rate yang optimal, pemerintah dan BI diminta melakukan kerjasama sebaik-baiknya.

Kelima, berkaitan dengan masalah hukum yang timbul akibat penyimpangan dalam penyaluran, penerimaan, dan penggunaan dana BLBI segera ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Keenam, pemerintah dan BI diminta menindaklanjuti persetujuan ini berdasarkan kesepakatan formal antara pemerintah dan BI dalam 30 hari.

Namun Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budihardjo Joedono berkeberatan terhadap penyelesaian politis masalah BLBI. Bagi dia, keputusan politis itu tidak adil karena membuat masyarakat terbebani, sementara konglomerat yang menjadi pemilik bank-bank penerima BLBI melenggang begitu saja. Benarkah?

Tanpa bermaksud membela pemerintah ataupun BI, pandangan itu menyesatkan. Bahwa surat utang yang dikeluarkan pemerintah berbunga sangat rendah dan bertempo lama sebagai konsep operasional penyelesaian masalah BLBI ini pada akhirnya akan menyedot penerimaan pajak, itu benar. Itu tidak keliru.

Tetapi itu adalah tidak benar bahwa sejumlah konglomerat eks pemegang bank-bank penerima BLBI lantas lepas tanggung jawab. Bukankah pemerintah sejak awal sudah bersikap bahwa mereka tetap harus harus mengembalikan dana BLBI yang dulu terkucur ke bank-bank mereka? Bahkan pemerintah sudah mengikat para konglomerat itu lewat perjanjian penyelesaian BLBI melalui skema Master of Settlemet and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing Notes Issuance (MRNIA), ataupun melalui Akta Pengakuan Utang (APU).

Hanya, memang, sejauh ini implementasi perjanjian-perjanjian itu terkesan setengah hati. Pemerintah acap terkesan tak sanggup bersikap tegas dan lugas, kendati sejumlah konglomerat sudah jelas-jelas bersikap mbalelo alias bandel dalam menyelesaikan kewajiban mengembalikan BLBI ini.

Karena itu, pendapat bahwa penyelesaian masalah BLBI ini tidak adil hanya memiliki konteks kebenaran kalau pemerintah tetap tak kunjung mampu bersikap tegas dan lugas terhadap para konglomerat yang terikat perjanjian berskema MSAA, MRNIA, ataupun APU. Juga kalau hitung-hitungan tentang nilai aset yang diserahkan pada konglomerat itu sama sekali tak mencerminkan kondisi obyektif sesuai pasar.

Apakah sikap Joedono sendiri tentang penyelesaian politis masalah BLBI ini juga merupakan penolakan BPK sebagai institusi, ataukah sekadar ekspresi ketidakpuasan pribadi Joedono? Soal itu sungguh menuntut klarifikasi karena memiliki implikasi serius.

Kalau saja pernyataan keberatan yang dilontarkan Joedono tadi ternyata merupakan penolakan BPK sebagai institusi -- terlebih bila itu bersipat formal dan tertulis --, bisa-bisa solusi yang sudah disepakati pemerintah, BI, dan DPR itu jadi tak punya arti. Bukan tidak mungkin, pemerintahan baru kelak mementahkan kembali penyelesaian politis masalah BLBI ini karena mereka menilai solusi itu tidak sah justru karena tidak memperoleh opini positif BPK.

Jika itu benar terjadi, tidakkah masalah BLBI ini akan kian ruwet, semakin menjadi beban keuangan negara, dan bisa-bisa tak pernah bisa terlesaikan.***
Jakarta, 08 Juli 2003

UU AntiPencucian Uang

Sungguh menyedihkan bahwa kalangan anggota DPR ternyata tak menunjukkan kepedulian terhadap masalah amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Draf perubahan undang-undang itu sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada 9 Juni lalu. Tapi, seperti kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sejauh ini pihak DPR belum juga menunjukkan gelagat segera membahas amandemen UU No 15/2002 ini bersama pemerintah.

Kenyataan tersebut menyedihkan karena seperti pernah dipaparkan di ruangan ini, amandemen UU No 15/2002 sudah amat mendesak menurut sisi waktu. Itu karena Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) -- badan kerjasama internasional pemberantasan tidak pencucian uang -- menggariskan tenggat bahwa UU No 15/2002 harus sudah selesai diamandemen paling lambat September 2003.
Jika sampai tenggat itu UU No 15/2002 belum juga diamandemen, FATF serta-merta menjatuhkan sanksi internasional terhadap seluruh transaksi keuangan kita dengan negara lain (counter measures). Dalam konteks itu, FATF menilai kita tidak serius menanggulangi tidak kejahatan pencucian uang.

Sanksi itu sendiri sungguh gawat: setiap transaksi keuangan dari dan ke Indonesia akan dianggap sebagai transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction). Itu akan meningkatkan biaya transaksi keuangan (high risk premium). Perbankan nasional, misalnya, selain harus membayar lebih tinggi premi risiko serta proses transaksi jadi amat berbelit dan lama, cabang-cabang bank devisa kita di mancanegara juga bisa-bisa ditutup.

Pada gilirannya, kenyataan seperti itu bakal membuat daya saing kita semakin ambrol hingga memukul kehidupan industri di dalam negeri.

Walhasil, dampak pengenaan sanksi FATF ini sungguh hebat. Justru itu, ekonom Faisal Basri pun menyatakan bahwa dengan peringkat kepercayaan B plus saat ini, counter measures itu bisa-bisa menyeret kita ke krisis ekonomi dan moneter jilid kedua. Padahal dampak krisis pertama saja belum benar-benar sirna.

Karena itu, kita kembali menghimbau DPR agar segera menggelar proses amandemen UU No 15/2002 ini. Memang, DPR kini begitu banyak menghadapi tugas yang juga harus segera ditangani dan diselesaikan. Tetapi menimbang konsekuensi serius andai hingga September 2003 UU No 15/2002 belum juga rampung diamandemen, kiranya pembahasan perubahan undang-undang tersebut amat beralasan memperoleh prioritas utama. Dengan demikian, dalam sisa waktu sebelum tenggat yang dipatok FATF berakhir, kita bisa merampungkan amandemen UU No 15/2002 ini.

Proses yang harus dilalui untuk itu sendiri, sebenarnya, tak terlampau menuntut perdebatan alot -- karena rasa-rasanya kita bisa sepakat bahwa beberapa klausul dalam UU No 15/2002 secara mendasar memang perlu diubah atau disempurnakan sesuai tuntutan FATF. Yang penting, kalangan anggota DPR memiliki kesadaran mengenai krisis waktu yang dihadapi dalam konteks amandemen UU No 15/2002 ini.

Patut kita akui, memang, beberapa klausul dalam UU No 15/2002 kurang tegas meneguhkan semangat dan sikap kita dalam memerangi praktik pencucian uang. Itu pula yang menorehkan penilaian FATF bahwa kita kurang sungguh-sungguh membangun rezim anti-money laundering.

Beberapa kelemahan mendasar yang melekat pada UU No 15/2002 ini -- notabene menjadi pijakan FATF dalam menuntut kita agar mengamandemen undang-undang tersebut, pertama, soal jumlah hasil tindak pidana pencucian uang yang hanya dibatasi sebesar Rp 500 juta. Itu dinilai FATF sungguh tidak efektif mencegah tindak pencucian uang -- dan karena itu mereka mendesak kita agar klausul tersebut dihapuskan.

Kedua, UU No 15/2002 tidak memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Itu, bagi FATF, sama saja dengan memberi peluang bagi nasabah pelaku tindak pencucian uang untuk mencari jalan agar tak terkena jerat hukum.

Ketiga, UU No 15/2002 juga masih mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan secara sempit. Definisi tersebut tidak mencakup transaksi keuangan maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak pidana.

Keempat, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan yang ditetapkan undang-undang terlalu lama, yaitu 14 hari. Itu, bagi FATF, bisa menyulitkan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Tidakkah keempat klausul itu memang masuk akal diamandemen? Justru itu, kita jelas tak harus berdebat berlarut-larut mengenai soal itu.

Kalau saja kalangan anggota DPR memiliki kesadaran seperti itu, kita optimis bahwa dalam sisa waktu yang sudah mepet ini amandemen UU No 15/2002 bisa diselesaikan. Dengan demikian, kita masih bisa selamat dari risiko serius akibat sanksi yang dijatuhkan FATF.

Tinggal kini soalnya, adakah kesadaran dan kepedulian DPR mengenai urgensi amandemen UU No 15/2002 ini?***
Jakarta, Juli 2003

04 Juli 2003

Transparansi Sukhoi

Kita setuju bahwa peralatan militer kita perlu diremajakan. Kondisi mesin perang kita rata-rata sudah usang dimakan usia. Justru itu, kita sungguh tak bisa menampik kenyataan bahwa kebutuhan tentang peremajaan peralatan militer ini amat mendesak. Padahal tantangan yang dihadapi TNI -- menjaga keamanan dan keutuhan wilayah negara -- tidak semakin ringan.

Kemajuan mutakhir teknologi mesin perang, patut kita akui, membuat ancaman ekternal terhadap keamanan dan keutuhan wilayah kita ini harus kita perhitungkan benar. Kita tak bisa berasumsi bahwa lingkungan eksternal akan terus bersahabat seperti sekarang ini -- betapapun soal itu sesungguhnya adalah harapan kita.

Dalam konteks itu, jelas kita tak bisa mengandalkan peralatan militer yang sudah uzur dan secara teknologi kini sudah "tak ada apa-apanya" lagi. Karena itu, mesin perang kita perlu diremajakan sesuai tingkat perkembangan mutakhir teknologi militer dunia.

Atas dasar itu pula, kita bisa memahami keputusan pemerintah mengenai pilihan dalam rangka pengadaan atau peremajaan peralatan militer ini. Pilihan tersebut jatuh terhadap pesawat tempur Sukhoi dan helikopter Mill buatan Rusia. Bahkan kita mendukung pilihan tersebut.

Itu bukan sekadar karena produk mesin perang buatan Rusia relatif bisa kita andalkan menurut tingkat kemajuan teknologi militer saat ini. Lebih dari itu, secara politis di pentas dunia internasional, keputusan itu juga menunjukkan independensi kita sebagai sebuah negara. Dengan membeli produk peralatan militer buatan Rusia, kita bisa tegas memperlihatkan sikap kita pada masyarakat dunia bahwa dalam pengadaan mesin perang kita tak bergantung terhadap negara tertentu.

Tetapi kita tak bisa memahami langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka pembelian empat unit pesawat Sukhoi dan dua unit helikopter Mill dari Rusia senilai 192,9 juta dolar AS ini. Tanpa bermaksud mendahului hasil telusuran Panja DPR tentang Sukhoi, kita sependapat dengan pendirian sejumlah kalangan bahwa dalam proses pembelian melalui pola imbal dagang itu pemerintah terindikasi melakukan pelanggaran prosedur menurut sudut kewenangan maupun keuangan.

Dari sudut kewenangan, seharusnya pengadaan peralatan militer adalah kewenangan Dephan. Tapi dalam kasus pembelian Sukhoi, kenapa pihak yang melakukan kontrak pembelian justru Perum Bulog? Kenapa Dephan bisa tidak tahu-menahu soal pembelian pesawat temput itu? Tidakkah itu aneh? Sejak kapan Bulog berwenang melakukan pengadaan peralatan militer?

Dari sudut keuangan, pembelian Sukhoi dan helikopter Mill dari Rusia ini juga tak kurang bermasalah. Betapa tidak, karena baru belakangan terungkap bahwa pemerintah berharap pendanaan untuk pengadaan pesawat militer itu lewat APBN. Padahal alokasi anggaran untuk itu jelas-jelas tidak ada. Lagi pula, DPR sendiri tak pernah diajak urun rembuk mengenai soal itu.

Sejauh yang kita tahu melalui berbagai keterangan sejumlah pejabat dalam sejumlah kesempatan, transaksi pengadaan Sukhoi dan Helikopter Mill itu dilakukan Bulog di bawah koordinasi Menperindag sesuai perintah presiden. Lalu, saat penandatanganan kontrak pembelian, Panglima TNI memang dilibatkan. Tapi kenapa Dephan, Depkeu, dan DPR seolah sengaja ditinggalkan? Ada apa di balik itu semua?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pula yang kemudian mengundang curiga: jangan-jangan pengadaan Sukhoi hanya tameng, sementara tujuan sebenarnya adalah pemerintah membukakan peluang bagi pihak tertentu meraup keuntungan lewat mekanisme imbal-dagang.

Itu terasa makin beralasan karena, konon, imbal-dagang sejatinya tidak terkait dengan pembiayaan yang harus memanfaatkan dana APBN. Lagi pula, seperti kata Ketua Kadin Komite Rusia Setiawan Djody, Rusia sebenarnya tidak menyukai sistem barter atau imbal-dagang. Rusia, ujarnya, lebih suka pembelian langsung.

Berbagai kecurigaan macam itu tak harus tertoreh kalau saja proses pembelian pesawat Sukhoi dan helikopter Mill dari Rusia ini sejak awal benar-benar transparan. Tapi, agaknya, asas transparansi baru sebatas teori atau slogan. Pemerintah amat terkesan tak memiliki keinginan mengindahkan asas tersebut.

Kesan itu kian mengental setelah Menperindag Rini Suwandi seperti menghindari memberikan penjelasan kepada Panja Sukhoi di DPR. Padahal penjelasan Rini amat ditunggu karena dia merupakan tokoh penting dalam proses pembelian pesawat militer melalui imbang dagang dari Rusia ini.

Kenyataan itu jelas ganjil karena Rini selaku sosok yang lama berkecimpung di dunia swasta jelas mengerti betul makna transparansi ini. Dia juga tak perlu diingatkan mengenai apa yang dimaksud dengan good governance dan urgensinya. Tapi kenapa dia seperti tak hirau? Apakah itu pertanda bahwa pemerintah memang tidak memiliki karakter good governance? Jika demikian, kebijakan-kebijakan yang digariskan memang sulit merujuk pada keterbukaan dan kemaslahatan rakyat.***
Jakarta, Juli 2003