28 Juni 2003

Haruskah Rupiah Dibendung?

Keperkasaan rupiah sebenarnya amat kita nantikan. Nilai tukar rupiah yang kokoh-kuat sungguh kita impikan. Kita sudah merasakan betapa pahit dampak yang kita pikul akibat anjloknya kurs rupiah ini, khususnya terhadap dolar AS. Kita terjerembab ke dalam krisis ekonomi -- notabene hingga kini belum juga sirna -- tak lain akibat kurs rupiah rontok. Bahkan industri perbankan kita nyaris bangkrut karena dipicu oleh hancurnya nilai tukar rupiah kita ke level yang sungguh tidak masuk akal pada 1998 silam.

Singkat kata, kerontokan nilai tukar rupiah sungguh pahit dan melahirkan beban berkepanjangan. APBN, misalnya, entah kapan bisa benar-benar lepas dari beban utang berupa obligasi rekap bank. Jumlah utang luar negeri kita juga terasa lebih menghimpit-menyesakkan selama kurs rupiah menapak di level rendah.

Karena itu, ketika sejak triwulan keempat tahun lalu rupiah menunjukkan tendensi menguat, kita merasa lega. Terlebih penguatan itu terus berlangsung dan kian meyakinkan. Hanya dalam tiga pekan terakhir, misalnya, kurs rupiah sudah menguat hampir 5 persen dari Rp 8.675 menjadi Rp 8.325 per dolar pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kenyataan itu serta-merta menerbitkan harapan-harapan yang berujung pada satu kesimpulan bahwa beban hidup kita bisa menjadi lebih ringan. Kurs rupiah yang perkasa sangat mungkin membuat pemerintah tak merasa perlu menaikkan tarif dasar listrik ataupun harga bahan bakar minyak (BBM). Harga aneka aneka barang dan jasa pun -- terutama yang relatif banyak terkait dengan mata uang dolar AS -- bisa turun menjadi relatif lebih murah.

Di sisi lain, dalam skala lebih luas, penguatan rupiah ini tak terkecuali bisa membuat beban pemerintah jadi jauh berkurang. Nominal rupiah yang harus dikumpulkan untuk mencicil utang luar negeri, misalnya, jelas menyusut. Di sisi lain, beban bunga obligasi rekap juga sangat mungkin jadi berkurang dalam jumlah signifikan -- karena tingkat sukubunga terseret turun.

Justru itu, nilai defisit APBN pun jelas jadi menyempit. Ini, pada gilirannya, membukakan harapan: pemerintah menggelar program-program perbaikan kesejahteraan sosial.

Boleh jadi, rupiah masih akan lebih perkasa lagi. Penguatan kurs tampaknya memang belum akan berhenti. Betapa tidak, karena sejumlah faktor masih membukakan ruang ke arah itu. Sebut saja obligasi pemerintah yang menawarkan tingkat keuntungan menggiurkan. Dengan tingkat yield sebesar 13-an persen, bagaimanapun kalangan investor asing sulit tidak tergoda untuk tidak memindahkan investasi mereka dari dolar ke rupiah. Terlebih, di sisi lain, peringkat utang pemerintah dalam denominasi rupiah juga membaik.

Entah sampai level berapa keperkasaan rupiah ini akan terjadi. Yang pasti, level nilai tukar yang sekarang ini belum lagi menembus Rp 8.000 per dolar saja sudah membuat sejumlah kalangan berteriak. Bagi mereka, keperkasaan rupiah justru merugikan: daya saing komoditas ekspor mereka melemah.

Memang, penguatan kurs rupiah membuat aneka komoditas ekspor kita menjadi lebih mahal. Padahal kondisi ekonomi AS maupun Jepang yang menjadi pasar utama ekspor kita sekarang ini justru sedang tidak kondusif. Jadi, terutama bagi eksportir -- terlebih mereka yang banyak menggunakan bahan baku impor, semisal kalangan pengusaha tekstil dan produk tekstil -- penguatan rupiah terasa menjadi petaka.

Tapi apakah level nilai tukar rupiah kini sudah benar-benar membuat aneka komoditas ekspor kita kehilangan daya saing? Haruskah penguatan kurs rupiah ini sekarang sudah saatnya dihambat atau bahkan dihentikan sebagaimana penuturan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution?

Jujur saja, kita tidak setuju terhadap gagasan seperti itu. Kita sungguh tak rela jika impian kita selama ini -- rupiah benar-benar perkasa -- harus kita redupkan lagi semata agar aneka komoditas ekspor kita tetap berdaya saing. Terlebih tak ada data meyakinkan yang memperlihatkan bahwa kinerja ekspor kita berbanding lurus dengan nilai tukar rupiah. Ketika kurs rupiah benar-benar terpuruk, buktinya, kinerja ekspor tak serta-merta melonjak luar biasa. Kinerja ekspor kita ketika itu tetap dalam taraf biasa-biasa saja.

Walhasil, tampaknya, nilai tukar rupiah adalah satu soal. Sementara daya saing komoditas ekspor adalah soal lain. Karena itu, gagasan untuk menahan laju penguatan kurs rupiah sekarang ini sungguh tak relevan. Apa yang beralasan dan amat urgen dilakukan pemerintah dan dunia usaha justru meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri. Patut kita akui, proses produksi industri kita amat tindak menunjang daya saing komoditas ekspor. Sebut saja aneka pungutan -- entah resmi ataupun liar -- sudah lama menjadi benalu yang amat membebani.

Soal penguatan kurs rupiah sendiri biar saja bergerak alamiah. Tapi Bank Indonesia dan pemerintah perlu tetap waspada sekaligus menyiapkan langkah-langkah antisipasi: karena keperkasaan rupiah ini lebih banyak lantaran arus masuk dana asing dalam jumlah besar-besaran tertuju ke investasi dalam portofolio. Kita tahu, itu amat rentan: sewaktu-waktu dana bisa ditarik kembali dan arus pun seketika berbalik arah menjadi amat menekan atau bahkan merontokkah rupiah.***

Jakarta, 28 Mei 2003

27 Juni 2003

Gijzeling, Efektifkah?

Di atas kertas, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkeu-Menkeh/HAM tentang sanksi paksa badan (gijzeling) terhadap para pengemplang pajak kelas kakap memang bisa diharapkan mampu menyelamatkan potensi penerimaan pajak. Pemerintah, dalam konteks ini, bisa langsung menjebloskan para pengemplang pajak yang jelas-jelas tidak kooperatif itu -- tak kunjung membayar kewajiban pajak mereka -- ke rumah tahanan negara.

Sanksi itu sendiri tak serta-merta menghapuskan kewajiban mereka melunasi tagihan pajak pada negara. Pengemplang pajak yang tak kooperatif ini bisa terus meringkuk di bui sampai kewajiban pajak mereka lunas melalui penyitaan dan pelelangan harta-benda mereka.

Kita berasumsi, sanksi seperti itu bisa membuat para pengemplang pajak jadi merasa miris. Bagi mereka yang pasti punya sosok istimewa di tengah masyarakat ini, meringkuk di bui bukan saja amat tidak nyaman, melainkan terutama meruntuhkan reputasi atau kredibilitas mereka. Karena itu, kita meyakini bahwa SKB Menkeu-Menkeh/HAM tentang gijzeling ini bisa memaksa mereka berubah sikap: jadi patuh memenuhi kewajiban pajak kepada negara.

Walhasil, tumpukan tunggakan pajak pun bisa diharapkan cepat tuntas terselesaikan. Selama ini, penyelesaian tunggakan pajak ini demikian alot dan tak kunjung signifikan tertangani. Meski Ditjen Pajak sudah melakukan berbagai upaya -- mulai menerbitkan surat teguran, surat paksa, surat perintah penyitaan, juga mengeluarkan kebijakan cegah dan tangkal (cekal) bepergian ke luar negeri -- tunggakan pajak tetap saja menggunung. Upaya-upaya itu nyaris tak membuahkan hasil.

Sekarang ini saja, tunggakan pajak ini bernilai sekitar Rp 17,1 triliun. Itu hanya berkurang sedikit dibanding posisi tahun lalu sebesar Rp 17,3 triliun. Bahkan dibanding posisi tahun 2001 yang bernilai 13,3 triliun, jumlah tunggakan pajak sekarang ini justru membengkak.

Itu bisa terjadi karena sejumlah wajib pajak -- notabene tergolong kelas kakap, yakni memiliki kewajiban pajak di atas Rp 1 miliar -- terkesan tak takut mengemplang pajak. Mereka "cuek bebek" alias sama sekali tak kooperatif terhadap upaya-upaya penagihan yang dilakukan aparat. Menurut catatan Ditjen Pajak, mereka yang "cuek bebek" ini sekarang berjumlah 39 wajib pajak -- termasuk 8 penanggung pajak ekspatriat alias berkewarganegaraan asing.

Namun mungkin fenomena "cuek bebek" sejumlah wajib pajak kelas kakap yang melahirkan tunggakan pajak demikian menggunung itu bukan semata karena sikap bandel mereka. Boleh jadi juga, fenomena itu terkait pula dengan sikap-tindak oknum aparat pajak sendiri. Mungkin aparat bersikap lembek, ragu, atau memang tidak fight dalam melakukan penagihan -- hingga tunggakan pajak pun tetap saja menggunung. Bahkan bukan mustahil pula, fenomena "cuek bebek" itu merupakan produk kolusi aparat dengan kalangan wajib pajak kelas kakap ini.

Kita sama sekali tak bermaksud menuduh atau apriori terhadap sikap-tindak aparat pajak, terutama dalam menguber tunggakan pajak di kalangan wajib pajak kakap. Tetapi, betapapun, di negeri yang sudah telanjur dikenal amat korup ini, kemungkinan aparat main mata atau berkolusi dengan wajib pajak sungguh tak bisa kita tepiskan.

Karena itu pula, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, efektivitas SKB Menkeu-Menkeh/HAM tentang sanksi gijzeling terhadap para penunggak pajak kelas kakap yang tidak kooperatif ini amat tergantung komitmen dan integritas para pejabat bersangkutan. Andai saja mereka bersikap lembek, ragu, atau enggan menerapkan sanksi gijzeling, SKB Menkeu-Menkeh/HAM niscaya sia-sia saja: tak banyak memberi manfaat terhadap penyelamatan potensi penerimaan pajak.

Terlebih jika SKB itu malah dimanfaatkan oknum aparat sebagai sarana yang menaikkan "posisi tawar" mereka dalam bermain mata dengan pengemplang pajak, masalah tunggakan pajak tak akan pernah tuntas terselesaikan. Padahal, kita tahu, penerimaan pajak kian menjadi andalan pemerintah.

Di tengah kenyataan bahwa jumlah utang luar negeri maupun dalam negeri sudah teramat menumpuk, pemerintah mau tak mau harus memanfaatkan instrumen pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Apalagi aset-aset berharga yang bisa dijual -- entah aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ataupun divestasi badan usaha milik negara (BUMN) -- sudah banyak berkurang.

Adalah jelas tidak adil jika dalam rangka menggejot penerimaan dalam negeri ini, pemerintah terus asyik seperti orang "berburu di kebun binatang", sementara di lain pihak tunggakan pajak tak kunjung bisa ditangani hingga tuntas.

Karena itu, SKB Menkeu-Menkeh/HAM niscaya harus benar-benar efektif. Untuk itu, berbagai peluang yang memungkinkan oknum aparat bermain mata dengan pengemplang pajak harus bisa disingkirkan. Dalam konteks ini, transparansi pada berbagai tahapan pelaksanaan SKB sungguh menjadi kebutuhan. Mereka yang masuk daftar pengemplang pajak pun amat beralasan dibeberkan kepada publik. Dengan demikian, berbagai pihak bisa melakukan fungsi kontrol terhadap penanganan masalah tunggakan pajak ini.***

Jakarta, 27 Juni 2003

24 Juni 2003

SBI dan Intermediasi Bank

Mengherankan bahwa penurunan tingkat diskonto (bunga) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tak serta-merta membuat perbankan nasional tergerak menurunkan sukubunga pinjaman. Ini adalah anomali yang mengingkari teori dan keyakinan selama ini. Meski sukubunga SBI terus bergerak turun signifikan -- bahkan sampai menembus level di bawah 10 persen seperti hasil lelang SBI pada pekan lalu -- bunga pinjaman di perbankan kita ternyata tetap terpatok di kisaran 17-19 persen per tahun. Karena itu pula, fungsi intermediasi perbankan belum juga membaik. Tetap nyaris macet.

Ketika sukubunga SBI membumbung di level 17-an persen, banyak kalangan menyebut itu sebagai sumber penyebab sektor riil kesulitan memperoleh guyuran kredit perbankan -- sebagai akibat fungsi intermediasi perbankan kita yang nyaris tak berjalan. Menurut mereka, tingkat bunga SBI membuat kalangan perbankan tak tergerak mengucurkan kredit ke sektor riil. Mereka lebih merasa aman dan diuntungkan memutar dana masyarakat di instrumen SBI.

Dengan kata lain, ketika itu banyak kalangan menilai bahwa tingginya tingkat bunga SBI menjadi disinsentif bagi pengucuran kredit perbankan ke sektor riil. Karena itu, mereka mendesak Bank Indonesia (BI) agar perlahan-lahan melonggarkan likuiditas dengan menurunkan sukubunga SBI.

Namun setelah BI memenuhi desakan itu -- bahkan perkembangan terakhir tingkat bunga SBI sampai tersuruk di level di bawah 10 persen --, ternyata perbankan nasional tetap saja tak juga menurunkan bunga pinjaman. Fungsi intermediasi perbankan masih saja tak pulih. Sektor riil pun, karena itu, belum bisa kita harapkan segera bergerak kembali secara normal dan optimal.

Berbagai analisis sudah dibuat sejumlah pihak mengenai kenyataan itu. Masing-masing berupaya memberi penjelasan menurut perspektif teknis-ekonomis perbankan maupun nonteknis. Beberapa bankir, misalnya, menyebutkan bahwa cost of fund perbankan nasional telanjur tinggi. Dana mahal itu, menurut mereka, yang membuat perbankan tak bisa segera menurunkan tingkat bunga pinjaman seiring penurunan sukubunga SBI.

Di lain pihak, sejumlah pengamat ekonomi menyebutkan bahwa faktor yang membuat perbankan bergeming mengenai tingkat bunga pinjaman ini adalah investasi di pasar modal yang kini menggairahkan. Jadi, bagi perbankan saat ini, produk-produk investasi yang ditawarkan di pasar modal -- terutama obligasi pemerintah -- merupakan alternatif setelah sukubunga turun signifikan.

Sementara itu, analisis nonteknis menyatakan bahwa perbankan nasional masih trauma oleh risiko kredit yang membuat sejumlah bank tempo hari masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- bahkan tak sedikit pula yang terkena pembekuan izin operasi atau terlikuidasi. Mereka tak mau terjerembab pada risiko serupa. Terlebih BI menggariskan bahwa mulai akhir tahun ini penghitungan rasio kecukupan modal (CAR) bank memperhitungkan faktor risiko pasar. Meski untuk tahap awal diterapkan sebatas pada bank-bank yang relatif sudah siap, kebijakan tersebut jelas membuat kalangan perbankan harus ekstra hati-hati dalam menghadapi risiko -- termasuk dalam ekspansi kredit.

Ada pula analisis yang menyebutkan bahwa kapasitas sektor riil sendiri sangat terbatas. Bahkan, konon, kredit yang sudah memperoleh persetujuan bank pun banyak yang tak kunjung dicairkan. Investor ragu merealisasikan rencana bisnis karena situasi politik di dalam negeri tak lama lagi memanas seiring pelaksanaan Pemilu 2004. Karena itu, menurut analisis ini, secara kondisional bank-bank tak bisa menjalankan fungsi intermediasi. Tak heran bahwa penurunan bunga SBI pun nyaris tak mampu memberi dampak berarti terhadap tingkat bunga pinjaman maupun ekspansi kredit perbankan.

Berbagai analisis soal anomali dampak penurunan sukubunga SBI terhadap tingkat bunga pinjaman perbankan ini memang terkesan masuk akal. Analisis teknis-ekonomis maupun nonteknis perbankan memiliki pijakan rasional yang terkesan memberi pembenaran mengenai anomali itu.

Tapi, jujur saja, berbagai analisis itu tetap tak terlampau meyakinkan. Kita masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan mendalam tentang masalah sebenarnya yang telah melahirkan anomali mengenai dampak penurunan sukubunga SBI terhadap tingkat bunga pinjaman perbankan ini.

Karena itu pula, kita menyambut baik niat BI melangsungkan pertemuan khusus dengan jajaran bankir nasional -- khusus dalam rangka membahas anomali itu. Kita berharap, pertemuan tersebut benar-benar gamblang mengurai dan menguak something wrong yang membuat tingkat bunga pinjaman bank tak kunjung turun.

Selebihnya, tentu, kita juga berharap pertemuan itu mampu mendorong perbankan nasional serta-merta tergerak melakukan fungsi intermediasi hingga tahap optimal. Dengan demikian, sektor riil bisa segera bergerak normal. Ini penting dan amat strategis guna mendorong roda pertumbuhan ekonomi berputar lebih kencang dan tak semata bertumpu pada sektor konsumsi seperti selama ini. Pertumbuhan ekonomi dalam level tinggi dan mendasar adalah kebutuhan kita guna menjawab masalah pengangguran yang kini sudah amat merisaukan itu.***

Jakarta, 24 Juni 2003

21 Juni 2003

Alotnya Penyelesaian BLBI

Penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih saja berlarut-larut. Solusi yang sejak lama kita nantikan tak kunjung tertorehkan. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa upaya-upaya ke arah penyelesaian itu tak kunjung mencapai titik akhir. Bahkan tahapan-tahapan tertentu yang sudah dicapai dan menunjukkan langkah maju pun -- notabene telah menguras begitu banyak tenaga, waktu, dan pikiran --, belakangan mendadak menjadi mentah lagi.

Dengan kata lain, masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini kembali ke titik nol. Justru itu, langkah-langkah yang selama ini sudah ditempuh pun -- melibatkan pemerintah, BI, dan DPR -- nyaris jadi sia-sia. Percuma. Mubazir. Langkah-langkah itu hanya menorehkan keheranan sekaligus kebingungan di kalangan rakyat banyak.

Kita sebagai rakyat memang tak benar-benar bisa memahami bahwa penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini tak kunjung bisa tuntas. Kita hanya bisa bertanya-tanya: kok langkah ke arah itu begitu alot, bahkan bisa mentah kembali. Padahal, tempo hari, kita memperoleh kesan bahwa penyelesaian masalah tersebut hanya tinggal ketok palu di DPR.

Kita juga dibuat bingung oleh berbagai angka yang bermunculan dalam setiap perdebatan mengenai pembahasan langkah penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI ini. Kita menjadi bingung karena kita acap kehilangan atau tak bisa menemukan konteks mengenai angka-angka itu. Kalaupun konteks tersebut kita dapati, kita tak selalu bisa memahami tautan serta implikasi politis-ekonomis ke belakang ataupun ke depan.

Meski demikian, itu tadi, kita sempat dihadapkan pada gambaran bahwa pembahasan mengenai penyelesaian masalah BLBI ini segera mencapai titik akhir. Itu terutama ketika tahapan pembahasan di DPR hanya tinggal menyepakati angka yang masing-masing menjadi kewajiban pemerintah dan BI.

Dalam konteks itu, sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tiga pihak yang terlibat -- pemerintah. BI, dan DPR -- sudah menyepakati bahwa total dana BLBI ini bernilai Rp 144,5 triliun. Konon, BI sudah mengalihkan hak tagih (cessie) seluruh dana BLBI senilai Rp 144,5 triliun itu kepada pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk itu, santer disebut-sebut bahwa penerbitan surat utang negara (SUN) menjadi alternatif konsep penyelesaian.

Tapi kita tak pernah mengira bahwa justru di saat yang seharusnya menjadi titik akhir solusi penyelesaian masalah BLBI antara pemerintah dan BI itu tiba-tiba muncul angka pengganjal Rp 115 triliun. Angka tersebut dilontarkan DPR -- konon berdasar data yang disajikan BPK -- sebagai aset berjaminan yang diserahkan BI ke BPPN. Atas dasar itu pula, DPR mengklaim BI masih memiliki utang pada pemerintah senilai Rp 29,4 triliun.

Konon, BI tak bisa terima klaim tersebut. Terlebih, konon pula, BI sudah dirugikan oleh sikap DPR yang tak mengakui -- karena tak pernah memberikan persetujuan -- obligasi yang diterbitkan BI pada tahun 2000 silam. Padahal, menurut klaim BI, penerbitan obligasi itu tak lain sebagai bagian beban yang mereka tanggung dalam rangka burden sharing masalah BLBI dengan pemerintah.

Tapi di lain pihak, BPK sendiri disebut-sebut menyatakan bahwa nilai aset berjaminan yang diterima BPPN itu bernilai Rp 129,4 triliun. Walhasil, jika demikian, terdapat selisih angka BLBI sebesar Rp 15,1 triliun. Angka tersebut segera mengundang tanya: ke mana atau menjadi tanggung jawab siapa?

Sementara itu, di lain kesempatan, pihak BPPN pernah menyebutkan bahwa mereka menggenggam cessie BLBI yang tak jelas senilai Rp 11,8 triliun. Itu tak jelas, menurut mereka, karena aset tetap dipegang BI. Sementara cessie senilai Rp 11,8 triliun itu hanya berupa promes.

Kita percaya bahwa masing-masing pihak yang selama ini intens terlibat dalam proses pembahasan soal penyelesaian masalah BLBI ini -- termasuk BPK -- memiliki itikad baik: bahwa kesepakatan yang tertorehkan harus benar-benar merupakan solusi terbaik dan bersipat win-win bagi pemerintah maupun BI. Kita juga tak meragukan kapasitas ataupun kapabilitas masing-masing pihak dalam mencari formula penyelesaian yang bersipat win-win ini.

Tetapi kita juga beralasan mengingatkan bahwa solusi win-win acap menuntut kompromi-kompromi. Barangkali soal itu selama ini kurang memperoleh tempat dalam rangka pembahasan mengenai penyelesaian masalah BLBI ini. Mungkin masing-masing pihak -- entah sadar ataupun tidak -- menganggap pihak lain dengan sikap curiga, penuh prasangka, atau bahkan divonis memiliki agenda kepentingan tersendiri.

Jika benar itu yang terjadi, kita bisa paham bahwa pembahasan masalah BLBI ini begitu alot dan seperti hanya berjalan di tempat. Soal angka-angka yang terus bermunculan dan membuat rakyat banyak jadi bingung, barangkali, hanya alat yang digunakan masing-masing pihak untuk mencurigai atau memvonis pihak lain.***
Jakarta, Juni 2003

20 Juni 2003

Ancaman FATF

Ancaman Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) tak boleh dipandang remeh. Jika mereka sampai menjatuhkan sanksi berupa counter measures -- karena kita mereka nilai tidak serius menanggulangi tidak kejahatan pencucian uang (money laundering) -- niscaya kita bisa dibuat kelimpungan: kegiatan ekspor-impor terganggu, atau bahkan mungkin macet.

Betapa tidak, karena mereka bisa membuat L/C yang diterbitkan perbankan nasional ditolak alias tidak laku sebagai sarana transaksi bisnis internasional -- khususnya di lingkungan negara-negara anggota FATF. Begitu juga transfer ataupun keberadaan dana kita di bank-bank di mancanegara juga dibuat tak bisa kita tarik.

Di sisi lain, biaya pendanaan yang berasal dari luar negeri juga jadi berlipat-lipat karena Indonesia dianggap memiliki tingkat risiko tinggi. Justru itu, pemerintah niscaya jadi kesulitan memperoleh bantuan keuangan internasional -- entah bilateral ataupun multilateral. Belum lagi kalangan investor internasional juga sangat boleh jadi dibuat jadi enggan masuk ke Indonesia. Itu bukan saja karena mereka berisiko terkena sanksi FATF, melainkan juga karena pemerintah mereka kemungkinan besar mengeluarkan larangan bagi mereka berinvestasi di Indonesia.

Singkat kata, jika FATF sampai menjatuhkan sanksi terhadap kita, kegiatan ekonomi-bisnis kita bisa benar-benar terisolasi. Kita tak akan lagi diterima sebagai warga komunitas ekonomi dunia. Jadi, sekali lagi, jangan anggap enteng ancaman FATF berkaitan dengan keseriusan kita mencegah dan menanggulangi tindak pencucian uang ini.

Memang, kita sudah memiliki UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tapi selaku badan kerjasama internasional pemberantasan tindak pencucian uang, FATF menilai bahwa undang-undang tersebut -- notabene kelahirannya tak lain atas tekanan FATF pula -- memiliki sederet kelemahan. Itu, antara lain, karena UU No 15/2002 membatasi jumlah hasil tindak pidana pencucian uang. Batasan jumlah yang ditetapkan undang-undang, yaitu senilai Rp 500 juta, dinilai FATF tidak efektif -- dan karena itu mereka mendesak kita agar klausul tersebut dihapuskan.

Di lain pihak, UU No 15/2002 juga tidak memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Itu, bagi FATF, sama saja dengan memberi peluang bagi nasabah pelaku tindak pencucian uang untuk mencari jalan agar tak terkena jerat hukum.

Kelemahan lain, UU No 15/2002 juga masih mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction) secara sempit. Definisi tersebut tidak mencakup transaksi keuangan maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak pidana.

FATF juga menilai, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan yang ditetapkan undang-undang terlalu lama, yaitu 14 hari. Itu, bagi FATF, bisa menyulitkan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Kelemahan-kelemahan itu pula yang membuat FATF berkesimpulan bahwa Indonesia tidak serius menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Justru itu, mereka memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang kurang kooperatif terhadap upaya pencegahan ataupun penangulangan praktik money laundering ini.

Dalam kaitan itu, FATF meminta Indonesia mengamandemen UU No 15/2002 menjadi perangkat hukum yang benar-benar tegas dan lugas terhadap berbagai bentuk tindak pencucian uang melalui berbagai lembaga keuangan di dalam negeri. Mereka sangat menekankan agar amandemen UU No 15/2002 ini tak memberi ruang sedikit pun bagi praktik money laundering ini.

Untuk itu, FATF membuat tenggat: proses amandemen UU No 15/2002 harus tuntas paling lambat September 2003. Jika tidak, itu tadi, mereka mengancam menjatuhkan sanksi yang jelas bisa membuat kegiatan ekonomi-bisnis kita dalam percaturan internasional jadi kelimpungan.

Namun, soalnya, tenggat yang diberikan FATF bagi kita untuk mengamandemen UU No 15/2002 ini demikian mepet: efektif hanya sekitar 3 bulan. Mengingat setumpuk pekerjaan rumah yang juga amat mendesak ditangani DPR -- terutama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2004 --, agak musykil proses amandemen itu bisa tuntas sesuai tenggat FATF. Bahkan, boleh jadi, hingga tenggat itu terlewati pun, UU No 15/2002 ini belum juga tersentuh DPR.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, agaknya, pemerintah dan DPR perlu berdiri dalam satu sikap: amandemen UU No 15/2002 harus menjadi prioritas utama. Kedua belah pihak juga perlu sependirian bahwa proses amandemen itu harus bisa berlangsung cepat hingga tak melewati tenggat yang dipatok FATF. Selebihnya, hasil amandemen itu sendiri harus terjamin memenuhi tuntutan FATF.

Jika pemerintah dan DPR tak memiliki komitmen seperti itu, sanksi FATF niscaya harus kita pikul. Padahal, seperti sudah disinggung di muka, itu bisa mematikan kehidupan ekonomi kita.***

Jakarta, 20 Juni 2003

03 Juni 2003

Pemerintah-BI Kok Berantem?

Apakah pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jadi segera dilakukan, ataukah langkah ke arah itu justru ditunda? Entahlah. Yang pasti, "perang" antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah mengenai pembentukan OJK ini kemungkinan bakal kian seru. Kedua belah pihak, tampaknya, masih akan terus saling mengadu argumen dan berupaya meyakinkan berbagai kalangan untuk mempertahankan pendirian masing-masing.

Dalam kaitan itu, kita menangkap kesan bahwa wacana tentang pembentukan OJK ini tidak lagi murni bersipat teknis, melainkan sudah kental memasuki wilayah politis. Langkah Depkeu sebagai wakil pemerintah cepat-cepat mengajukan draf RUU OJK ke DPR, misalnya, jelas sungguh terasa berada dalam wilayah yang tak lagi bersifat teknis. Ada kesan, tindakan tersebut merupakan upaya memotong langkah BI mementahkan rencana pembentukan OJK sekarang ini.

Di lain pihak, langkah BI sendiri "melobi" DPR serta pimpinan nasional seperti Wapres Hamzah Haz, juga amat kental beraroma politis. Siapa pun, agaknya, melihat bahwa langkah itu merupakan siasat BI membendung keinginan menggebu pemerintah menggolkan pembentukan OJK sekarang ini.

Sebenarnya, pemerintah dan BI sudah sependirian bahwa keberadaan OJK memang penting dan dibutuhkan. Lalu, kenapa kedua belah pihak terkesan terdorong "berperang": saling membendung, saling mengganjal, atau saling memotong? Ada apa sebenarnya antara BI dan pemerintah mengenai OJK ini? Apakah itu cerminan bahwa BI belum rela kehilangan sebagian kewenangan strategis? Juga, apakah sikap pemerintah sendiri merepresentasikan kekecewaan mereka atas peran dan fungsi BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan nasional selama ini?

Mungkin benar, seperti pendirian BI, pembentukan OJK sekarang ini sungguh prematur. Timing untuk itu saat ini boleh jadi memang tidak tepat karena berbagai prasyarat kondisional belum kondusif. Soal biaya yang dibutuhkan, misalnya, akan sangat membebani APBN. Padahal APBN dewasa ini masih didera defisit demikian besar. Belum lagi berbagai instansi terkait pun, barangkali, belum siap menerima kehadiran OJK ini.

Namun apakah benar, karena itu pembentukan OJK baru mungkin dilakukan antara 5 hingga 10 tahun lagi?

Kita juga memahami pendirian pemerintah -- dalam konteks ini Depkeu -- bahwa pembentukan OJK merupakan amanat UU No 23/1999 tentang BI. Undang-undang tersebut, persisnya melalui pasal 34, memang menggariskan bahwa OJK berfungsi mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan, kecuali sistem pembayaran, moneter, dan stabilitas keuangan. Itu berarti, kehadiran OJK membuat sebagian kewenangan strategis BI terpreteli. Setelah OJK terbentuk, fungsi BI hanya sebatas menjaga stabilitas keuangan yang meliputi pengendalian moneter seperti uang beredar dan tingkat sukubunga.

Namun apakah karena merupakan amanat undang-undang, lantas pembentukan OJK ini sama sekali tak memiliki ruang untuk ditunda? Juga, benarkah bahwa penundaan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika UU No 23/1999 diamandemen lebih dulu? Berapa lamakah masa penundaan itu sendiri?

Sejauh ini kita tak melihat BI dan pemerintah memiliki keinginan untuk duduk bersama guna membicarakan soal pembentukan OJK secara dingin dan jernih. Ini sungguh kita sesalkan. Bagaimanapun, duduk bersama dan saling bicara dengan kepala dingin dan jernih amat menjamin hasil lebih baik ketimbang terlibat "perang" terbuka. Itu bukan saja bisa menghilangkan spekulasi macam-macam di masyarakat mengenai sikap masing-masing tentang pendirian OJK. Lebih dari itu, keberadaan OJK sendiri kelak bisa diandalkan efektif berperan sesuai harapan.

Terus-terang, kita belum memperoleh jaminan bahwa kelak OJK benar-benar mampu berperan menjadi lembaga yang menentukan maju-mundurnya industri serta sistem keuangan nasional. Sejauh ini, tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan BI lebih menapak pada soal waktu pendirian OJK. Kedua belah pihak seolah melupakan soal lebih substansial: bahwa OJK bukan sekadar dibutuhkan, melainkan juga merupakan wahana yang mampu mengondisikan industri keuangan nasional menjadi sehat, tangguh, dan efisien.

OJK memang lembaga amat strategis. Seperti ditunjukkan di sejumlah negara, kehadiran OJK secara mendasar akan mengubah struktur pengawasan, pengaturan, dan pembinaan industri keuangan. Justru itu, OJK menjadi faktor yang amat menentukan maju-mundurnya industri serta sistem keuangan nasional.

Karena itu, pembentukan OJK jelas menuntut persiapan maupun kesiapan sangat matang berbagai pihak di berbagai lini. Soal persiapan dan kesiapan ini mutlak harus dikaji mendalam dan menyeluruh tanpa rasa sesal ataupun "dendam".

Mestinya, dalam koridor dan semangat itu pula pemerintah dan BI saling beradu argumen -- bukan malah "berperang" hanya soal waktu pembentukan OJK. Kedua pihak seharusnya menyadari, kini ataupun nanti, pembentukan OJK tanpa kesiapan dan persiapan matang adalah sama saja: sia-sia.***

Jakarta, 03 Juni 2003