23 Mei 2003

Nasib Industri Kehutanan

Rencana karya tahunan (RKT) alias jatah tebangan kayu gelondongan tahun depan diturunkan lagi menjadi 5,7 juta kubik. Apa artinya? Industri pengolahan kayu jelas akan makin megap-megap kesulitan memperoleh bahan baku! Sangat mungkin
daftar industri yang tutup akan menjadi kian banyak. Mereka tak mampu lagi terus berhatan beroperasi karena pasokan bahan baku tak lagi bisa mereka peroleh.

Bagi industri pengolahan kayu, penciutan RKT menjadi 5,7 juta kubik memang amat menyesakkan -- bahkan mematikan. Jangankan hanya 5,7 juta kubik, bahkan dengan RKT sebanyak 6,8 juta kubik tahun ini pun kondisi yang menyesakkan itu sudah sangat terasa. Maklum karena angka-angka itu jauh di bawah kapasitas terpasang industri pengolahan kayu sebanyak
36,7 juta kubik dengan tingkat kebutuhan bahan baku sebanyak 63,5 juta kubik per tahun.

Selama dua tahun terakhir, pemerintah memang terus menurunkan RKT secara drastis. Pada tahun 2001, RKT ini masih lumayan tinggi: 21 juta kubik. Tapi setahun kemudian, angka tersebut diturunkan drastis menjadi 12 juta kubik. Lalu tahun ini, RKT diciutkan lagi menjadi 6,8 juta kubik. Tahun depan, angka itu ternyata masih dibuat semakin susut menjadi 5,7 juta kubik.

Karena itu, tak sulit membayangkan bagaimana industri pengolahan kayu dibuat megap-megap kesulitan memperoleh bahan baku. Tak sulit pula memahami kenyataan bahwa satu demi satu industri pengolahan kayu ini terus berguguran tak mampu bertahan hidup.

Entah berapa banyak industri yang sudah gulung tikar gara-gara tak bisa memperoleh pasokan bahan baku ini. Tapi, menurut catatan terakhir, jumlah industri pengolahan kayu nasional mencapai 1.881 unit. Mereka pula yang di masa lalu berperan demikian mengesankan dalam menyumbang perolehan devisa negara: menjadi kedua terbesar setelah industri tekstil dan produk tekstil.

Kejayaan industri pengolahan kayu memang sudah berlalu. Jangankan mampu memberi kontribusi signifikan terhadap perolehan devisa negara seperti di masa lalu, bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun kini mereka sudah amat kesulitan. Terlebih harga produk kayu olahan di pasar ekspor -- terutama kayu lapis (plywood) -- kini amat terpuruk dan sulit diharap bisa bangkit gemerlap seperti di masa lalu.

Rencana penurunan RKT sendiri merupakan kebijakan lebih jauh yang digariskan Menhut Muhammad Prakosa dalam rangka soft landing di bidang kehutanan guna mengurangi tekanan terhadap hutan alam. Dengan RKT yang dibuat kian jauh di bawah kebutuhan industri pengolahan kayu, potensi hutan alam yang tersisa diharapkan bisa dikelola secara berkelanjutan.

Kita setuju bahwa sumberdaya hutan harus terjamin lestari. Sumberdaya hutan memang harus dikelola berkelanjutan. Terlebih hutan alam kita telanjur rusak parah akibat kiprah jajaran pemegang HPH di masa lalu tak mengindahkan ketentuan yang menjamin kelestarian sumberdaya hutan, di samping akibat tindak penebangan liar (illegal logging) yang demikian marak sejak reformasi bergulir.

Tetapi ketika langkah penyelamatan sumberdaya hutan ini ternyata ditempuh pemerintah dengan menurunkan RKT secara drastis, kita jadi terperangah. Itu tadi, karena penurunan RKT serta-merta menorehkan kesadaran bahwa industri pengolahan kayu harus berguguran. Terlebih karena kebijakan tersebut juga ternyata -- pelan tapi pasti -- dibarengi dengan pencabutan izin HPH yang digenggam perusahaan-perusahaan bermasalah berdasarkan hasil audit.

Padahal, di lain pihak, sejauh ini kita belum memperoleh data meyakinkan bahwa tekanan terhadap hutan alam sekarang ini sudah jauh menurun. Bahkan, seperti kata pelaku industri pengolahan kayu, penurunan RKT maupun pencabutan izin HPH malah kian menyuburkan tindak penebangan liar. Dalam konteks ini, boleh jadi benar, ada saja industri yang nekad memanfaatkan kayu ilegal hasil penebangan liar.

Sementara itu, bergugurannya industri pengolahan kayu maupun pencabutan izin HPH jelas berdampak serius. Yang segera tertoreh dan amat gampang terlihat saja: tindak pemutusan kerja (PHK) mustahil bisa dihindari. Sekian banyak tenaga kerja di perusahaan-perusahaan HPH maupun industri pengolahan kayu jelas harus terkena PHK ini. Kenyataan tersebut serta-merta berimbas terhadap angka pengangguran. Padahal pengangguran yang selama ini ada pun sudah demikian menggunung dan amat sulit bisa diatasi.

Di lain pihak, agaknya, kebijakan restrukturisasi industri kehutanan yang sekarang ini dilakukan pemerintah malah menjadi disinsentif terhadap iklim investasi nasional. Terutama kalangan pemilik modal asing, dalam kaitan ini, barangkali memperoleh kesan bahwa kegiatan investasi di Indonesia sarat risiko ketidakpastian regulasi atau kebijakan. Padahal kehadiran investor justru amat dibutuhkan sebagai solusi strategis atas masalah pengangguran yang saat ini sudah terbilang mencemaskan.

Karena itu, konsep strategi restrukturisasi industri kehutanan ini mungkin perlu dirumuskan lagi. Dalam konteks ini, implikasi-implikasi sosial-ekonomi perlu diperhitungkan kembali. Pemerintah tak sepatutnya menutup mata dan telinga.***

Jakarta, 23 Mei 2003

20 Mei 2003

Gubernur Baru BI

Burhanuddin Abdullah sejak kemarin resmi menggantikan Syahril Sabirin sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Kini tinggal bagaimana Burhanuddin menjawab setumpuk harapan banyak pihak mengenai kehidupan ekonomi-moneter kita. Masyarakat amat menantikan program konkret Burhanuddin dalam waktu dekat ini.

Harapan atau bahkan tuntutan masyarakat terhadap pejabat publik baru -- terlebih terhadap Gubernur BI -- adalah wajar. Atau malah mungkin keharusan: pertanda kita masih merasa memiliki masa depan. Terlebih, memang, krisis ekonomi yang menerpa kita sejak lima tahun silam belum benar-benar sirna. Sebagai salah satu pilar ekonomi nasional, BI pun amat diharapkan masyarakat mampu menghembuskan gairah baru nan segar dan membuat krisis makin cepat terkikis habis.

Memang, saat menjalani uji kepantasan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi IX DPR, pekan lalu, Burhanuddin sendiri sudah membeberkan program kerja yang akan dia luncurkan sebagai orang nomor satu di BI ini. Bahkan paparan itu pula -- di samping penilaian positif atas aspek integritas dan moralitas pribadi -- yang mengantarkan Burhanuddin tampil terpilih sebagai pengganti Syahril, menyisihkan dua calon lain yang diajukan presiden ke DPR: Miranda S Goeltom dan Cyrillus Harinowo.

Tetapi, bagaimanapun, paparan program Burhanuddin saat menjalani fit and proper test di DPR itu masih membutuhkan penjabaran hingga menjadi lebih tajam dan konkret. Itu yang amat diharapkan dan dinantikan masyarakat, terutama menyangkut kenyataan-kenyataan yang terasa membutuhkan penanganan segera. Sebut saja soal fungsi intermediasi perbankan ataupun program pascakontrak Dana Moneter Internasional (IMF) yang sudah pasti berakhir di penghujung tahun ini.

Patut kita akui, Burhanuddin relatif diuntungkan oleh sejumlah tonggak yang sudah diletakkan Syahril. Laju inflasi, misalnya, sudah relatif terkendali di level lumayan rendah. Jika pada tahun 2001 masih 12,6 persen, tahun lalu laju inflasi ini sudah terseret turun menjadi 10,03 persen.

Begitu juga nilai tukar rupiah: kini bergerak dalam kisaran stabil di level Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per dolar AS. Di lain pihak, tingkat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga sudah turun signifikan ke level yang terbilang relatif rendah: dari 17,5 persen pada posisi Januari 2002 menjadi di bawah 11 persen sekarang ini.

Walhasil, untuk sejumlah segi, langkah Burhanuddin menakhodai BI bisa lebih ringan. Tinggal bagaimana kondisi-kondisi yang sudah diletakkan Syahril bisa dia pelihara menjadi lebih baik dan kian kondusif bagi kehidupan ekonomi nasional. Penurunan tingkat sukubunga SBI, misalnya, masih terasa seperti anomali: tak serta-merta membuat sukubunga perbankan nasional melorot turun signifikan pula.

Di sisi lain, penurunan tingkat sukubunga SBI ini juga ternyata tak otomatis mendorong fungsi intermediasi perbankan menjadi lebih mulus. Kita melihat kesan, bank-bank masih saja cenderung enggan menggelontorkan kredit. Ekspansi yang mereka perlihatkan, sejauh ini lebih mengarah ke sektor konsumsi. Sementara sektor riil tetap megap-megap menantikan kucuran pinjaman.

Akibatnya, geliat sektor riil belum juga tersulut lagi. Sejak krisis menerpa, sektor riil praktis merana karena kesulitan memperoleh dukungan pembiayaan. Padahal, teoritis, penurunan sukubunga SBI serta-merta mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit ke sektor riil.

Di luar program-program yang merujuk pada upaya menyempurnakan apa yang sudah dicapai Syahril, Burhanuddin juga harus menghadapi tantangan lain yang jauh lebih krusial dan mendesak. Tantangan tersebut terutama terkait dengan situasi dan kondisi pascakontrak IMF. Ada kekhawatiran bahwa kondisi tersebut demikian buruk karena kepercayaan publik, terutama pelaku pasar uang dan pasar modal, terhadap ekonomi nasional bisa tiba-tiba rontok kalau saja strategi atau program (exit plan) yang disiapkan pemerintah tak meyakinkan.

Kekhawatiran itu makin beralasan bila utang kita pada IMF ternyata langsung dilunasi pemerintah seiring berakhirnya kontrak kerja sama. Itu akan serta-merta membuat cadangan devisa seketika surut dari 33 miliar dolar AS saat ini menjadi tinggal 22 miliar dolar AS. Padahal, sebagai konsekuensi habis kontrak dengan IMF, kita juga tak bisa lagi memperoleh penjadwalan (rescheduling) utang pada donor lain melalui forum Paris Club.

Artinya, cadangan devisa yang sudah surut mendadak masih pula digerogoti untuk mencicil utang dalam jumlah lumayan besar. Sementara prospek ekspor tak terbilang kemilau. Seiring aksi terorisme yang kian menyebar ke berbagai sudut dunia, juga tekanan masalah penyakit pernapasan sangat akut (SARS) yang semakin mencemaskan masyarakat internasional, situasi pasar ekspor membuat kita sulit berharap bisa menangguk banyak devisa.

Karena itu, masyarakat amat menantikan program konkret Burhanuddin untuk menghadapi situasi dan kondisi pascakontrak IMF ini. Bersama exit plan yang disusun pemerintah, program jangka pendek BI sangat diharapkan mampu membuat situasi dan kondisi pascakontrak IMF tak menghentak dan membuat panik.***

Jakarta, 20 Mei 2003

13 Mei 2003

Siklus Harga Hasil Tani

Menjadi petani di negeri ini sungguh tidak mengenakkan. Petani di negeri yang bernama Indonesia ini lebih banyak dibelit kesengsaraan dan berkubang dalam nasib buruk. Petani di negeri ini nyaris tak bisa berharap dapat menikmati kesenangan. Bahkan sekadar menyemai harapan pun mereka seolah tak layak atau tak berhak. Mimpi-mimpi mereka acap sirna terenggut tangan-tangan tak terlihat.

Musim panen, bagi petani, mestinya menjadi saat-saat yang menyenangkan dan menggairahkan. Tapi tidak bagi petani di negeri ini. Musim panen bagi mereka bukan saat-saat yang memungkinkan harapan dan segala mimpi bisa digapai menjadi kenyataan. Musim panen di negeri ini sering menjadi sumber kedukaan, kepahitan, dan kegetiran kalangan petani. Musim panen di negeri ini acap menjadi sumber malapetaka bagi petani: karena hasil panen menjadi nyaris tak berharga. Harga hasil tani anjlok ke tingkat yang hampir tak masuk akal. Harga cabe merah pada saat panen, misalnya, terseret hanya Rp 200 per kg. Padahal ketika panen belum tiba, harga cabe merah ini sempat melambung hingga Rp 40.000 per kg.

Kenyataan itu serta-merta menjadi ironi yang amat getir justru karena hampir selalu berulang dan nyaris tak pernah bisa dielaki. Seolah sebuah siklus, pada setiap musim panen harga hasil tani hampir selalu anjlok tak tertolong. Langkah-langkah antisipasi pemerintah pun, dalam kaitan ini, praktis tumpul alias kedodoran. Sekarang ini, misalnya, harga gabah di tingkat petani melorot drastis jauh di bawah patokan harga pembelian pemerintah sebesar Rp 1.230 per kg gabah kering giling (GKG). Padahal saat musim paceklik, harga gabah ini lumayan memberikan ruang bagi petani untuk menikmati selisih untung.

Menyedihkan pula bahwa dalam kondisi seperti itu petani malah ditunjuk seolah sebagai pihak yang salah. Harga gabah di tingkat petani pada musim panen sekarang ini anjlok antara lain karena faktor mutu gabah yang sangat tidak mendukung. Persisnya, menurut Suryana, kandungan airnya jauh di atas syarat yang digariskan pemerintah dalam konteks pembelian gabah petani.

Kalangan petani sendiri, tentu, tak menghendaki itu. Bagaimanapun mereka pasti berharap gabah mereka bermutu bagus. Tapi ketika kenyataan berbicara lain, apakah benar itu kesalahan mereka? Terlebih, bukankah jajaran pertanian sendiri turut terlibat -- paling tidak melalui penyuluhan-penyuluhan? Bahkan, sebelum musim panen, tidakkah jajaran pertanian ini justru tak ragu menyatakan optimis bahwa hasil panen petani padi bakal bagus. Tetapi kini kenapa soal buruknya mutu gabah ini seolah melulu menjadi kesalahan petani?

Namun kalaupun mutu gabah petani ini ternyata bagus, itu belum tentu serta-merta membuat petani bisa meraup untung. Nasib mereka kemungkinan tetap saja terpuruk. Seperti sudah-sudah, musim panen malah membuat mereka merana dan getir: harga gabah tetap terjerembab.

Dengan kata lain, tak ada jaminan bahwa mutu gabah bagus lantas otomatis membuat harganya di musim panen tak terjerembab di level yang mengiris hati petani. Faktor lain sangat mungkin tampil menjegal peluang petani bersuka-cita bisa menikmati harga bagus. Sebut saja beras impor membanjir.

Kalau begitu, apakah benar kran impor beras perlu ditata lagi? Misalnya, seperti desakan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, bea masuk beras ditingkatkan ke level yang niscaya membuat impor beras tak menjanjikan banyak keuntungan.

Pemerintah sendiri tampaknya sudah melirik alternatif tersebut. Bahkan, menurut Mentan Bungaran Saragih, forum rakor ekonomi sudah menyetujui bahwa bea masuk beras ini dinaikkan menjadi Rp 510 per kg. Tetapi, katanya, entah kenapa menkeu selaku otoritas mengenai tarif bea masuk ini tak kunjung merealisasikan keputusan rakor ekonomi itu.

Kita tak tahu apakah bea masuk beras ini benar akan dinaikkan menjadi Rp 510 per kg -- atau berapa pun. Atau mungkin justru sebaliknya: soal itu akhirnya menguap begitu saja. Menkeu, dalam kaitan ini, tentu memiliki alasan atau pertimbangan-pertimbangan spesifik.

Namun, terus-terang saja, kita tetap ragu bahwa andai bea masuk beras ini dinaikkan pun -- bahkan hingga ke level yang tak pernah terkira sekalipun -- akan benar-benar efektif menyelamatkan nasib petani. Dengan kondisi birokrasi yang demikian bobrok, peningkatan tarif bea masuk beras bisa-bisa hanya menjadi ajang perselingkuhan dalam rangka perburuan rente ekonomi. Dengan kata lain, tarif bea masuk beras yang dikerek ke level amat tinggi pun amat boleh jadi tetap saja tak bisa membendung siklus anjloknya harga gabah di tingkat petani.

Itu berarti, strategi atau politik kebijakan di sektor pertanian perlu dirumuskan ulang. Berbagai pihak terkait perlu duduk bersama menyusun strategi baru yang lebih komprehensif, harmonis, tidak bias, dan benar-benar konsisten serta konsekuen propetani. Dengan itu, barangkali, siklus anjloknya harga hasil tani bisa diharapkan terputus.***

Jakarta, 13 Mei 2003

09 Mei 2003

Efektivitas Pembebasan PPN

Kebijakan menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang modal dan peralatan pabrik mungkin merupakan salah satu langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan tahun ini sebagai Tahun Investasi yang dicanangkan Presiden Megawati Seokarnoputri. Kebijakan tersebut jelas positif. Paling tidak, kebijakan itu menunjukkan keinginan baik (good will) pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi di dalam negeri. Dengan kebijakan itu, kalangan investor diharapkan lebih tergerak dan bergairah menanam modal di negeri kita ini.

Kegiatan investasi di dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir memang mengalami lesu darah. Investor enggan datang untuk menabur modal. Bahkan investor yang sudah sekian lama mapan berusaha di sini pun, satu-dua malah memilih hengkang. Mereka memilih pindah ke negeri lain.

Di atas kertas, angka-angka persetujuan investasi memang relatif masih memberikan gambaran lumayan bagus. Angka-angka persetujuan investasi yang diberikan pemerintah mengesankan bahwa kalangan investor asing, terutama, masih memiliki cukup minat menabur modal di sini.

Tapi ketika kita lihat angka-angka realisasi, gambaran itu ternyata menyesatkan. Angka realisasi investasi ternyata amat jauh di bawah nilai yang disetujui pemerintah. Artinya, banyak proyek investasi yang disetujui pemerintah ternyata tak kunjung dilaksanakan. Kalangan investor, dalam kaitan ini, seolah tak serius. Mereka terkesan tak sungguh-sungguh berniat menanam modal.

Kini, dengan insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik, kalangan investor diharapkan lebih serius. Teoritis, insentif ini bukan hanya bisa membuat mereka yang sudah memperoleh persetujuan tergerak merealisasikan proyek investasi. Mereka yang selama ini tidak atau kurang tertarik menabur investasi di negeri kita juga bisa diharapkan berubah pikiran: tergoda untuk menggarap proyek penanaman modal.

Karena itu pula bisa dipahami ketika insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini diusulkan pemerintah, DPR langsung memberikan persetujuan. Tak seperti biasa, perdebatan alot dan melelahkan tak sampai terjadi. Justru itu, pemerintah tak perlu menguras banyak pikiran untuk meyakinkan kalangan anggota DPR mengenai arti strategis kebijakan itu. Tampaknya, kalangan anggota DPR sudah memahami benar substansi persoalan. Bahkan, boleh jadi, sejak lama mereka menunggu terobosan seperti itu.

Menurut perhitungan, insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini membuat negara mengalami potensi kehilangan penerimaan pajak lumayan signifikan. Untuk tahun ini saja, potensi kehilangan penerimaan ini bernilai sekitar Rp 1,8 triliun.

Tapi tak apa. Toh dengan itu kegiatan investasi di dalam negeri sangat bisa diharapkan segera meningkat. Dengan itu pula, pada gilirannya, potensi kehilangan penerimaan pajak bisa terkompensasi dengan angka yang mungkin jauh lebih besar.

Tetapi, bagaimanapun, itu baru asumsi. Bahwa penghapusan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini bakal mendorong kegiatan investasi baru merupakan hipotesis. Baru teori. Kalangan pemilik modal belum tentu tertarik oleh insentif pembebasan PPN ini.

Dengan kata lain, kebijakan itu belum tentu benar-benar efektif menjadi solusi atas kelesuan investasi di negeri kita. Toh, patut kita akui, kelesuan investasi ini bukan semata karena soal insentif -- apalagi sekadar insentif pembebasan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik. Bagaimanapun, akar masalah kelesuan investasi ini tidak sesederhana itu. Masalah tersebut begitu kompleks dan mendasar. Juga tidak semata berada dalam kerangka ekonomi, melainkan bertali-temali pula dengan persoalan sosial, politik, juga hukum.

Secara ringkas, seperti sudah sering dikeluhkan dunia usaha, kompleksitas masalah investasi di negeri kita ini merujuk pada ketidakpastian hukum dan aturan main atau kebijakan usaha, jaminan keamanan yang tidak meyakinkan, pelayanan birokrasi yang tidak efisien dan mahal, kebijakan antarsektor atau antarinstansi yang tidak harmonis, iklim perburuhan yang kurang bersahabat, situasi politik yang tak selalu adem, juga insentif-insentif ekonomi yang sudah kalah menarik dibanding negara-negara lain.

Jadi, sebetulnya, insentif perpajakan hanya satu aspek kecil di antara tumpukan masalah yang membuat iklim investasi di negeri kita tak menggairahkan. Justru itu, mengandaikan kebijakan fiskal semata sebagai solusi -- apalagi itu pun hanya dalam lingkup terbatas -- jelas keliru.

Sejak presiden mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Investasi, sebenarnya kita berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang benar-benar komprehensif dan mendasar. Tapi tanda-tanda ke arah itu tak kunjung terlihat. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti pembebasan pengenaan PPN barang modal itu, ternyata masih saja parsial dan dicicil-cicil. Karena itu, beralasan kita meragukan bahwa tahun ini bisa terwujud menjadi Tahun Investasi.***

Jakarta, 9 Mei 2003

02 Mei 2003

PTKP dan Potensi Pajak

Pajak mesti mengusung semangat keadilan. Tak seharusnya pajak diberlakukan dengan mengabaikan kondisi-kondisi tertentu yang dihadapi kalangan wajib pajak. Jika tidak, pajak jelas menjadi instrumen yang menyengsarakan. Terlebih jika hasil penerimaan pajak ternyata banyak mengalami kebocoran atau penyimpangan ketika digunakan mendanai penyelenggaraan negara.

Karena itu, kita amat menghargai sikap Dirjen Pajak yang responsif terhadap tuntutan serikat pekerja dan buruh. Pihak terakhir ini meminta agar batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan.

Memang, tuntutan itu mengancam potensi penerimaan jadi ciut. Menurut perhitungan, jika PTKP dinaikkan dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan, potensi penerimaan negara senilai Rp 3 triliun jadi menguap. Di tengah kondisi APBN yang didera defisit demikian menganga, potensi kehilangan penerimaan sebesar itu jelas lumayan signifikan.

Tetapi di sisi lain, angka itu juga menjadi relatif tak seberapa jika disangkutkan dengan rasa keadilan di kalangan wajib pajak, terutama mereka yang tergolong lapisan bawah seperti buruh dan karyawan rendahan. Bagaimanapun, bagi mereka, kenaikan PTKP dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan, sungguh terasa berarti. Itu akan langsung berpengaruh terhadap daya beli mereka.

Kenaikan PTKP dalam hitungan signifikan, bagi masyarakat lapisan bawah, amat bermakna di tengah kehidupan ekonomi yang semakin mengeras sekarang ini. Terlebih upah minimum provinsi hanya menyentuh kebutuhan minimum pekerja dan belum mampu memenuhi kebutuhan fisik mereka.

Itu pula yang membuat kenaikan PTKP dalam hitungan signifikan serta-merta bisa menorehkan rasa keadilan di kalangan wajib pajak lapisan bawah. Mereka akan menilai bahwa keringanan pajak tak hanya diberikan kepada masyarakat kelompok atas.

Awal tahun ini pemerintah menggelar kebijakan fiskal sebagai "kompensasi" atas serangkaian kebijakan yang membuat harga barang dan jasa naik. Kebijakan yang dikenal sebagai stimulus fiskal ini bernilai Rp 6 triliun. Itu berupa penundaan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), juga penurunan tingkat pajak penghasilan (PPh) bagi pedagang sektor tertentu.

Tetapi stimulus fiskal ini relatif amat sedikit menyentuh masyarakat lapisan bawah seperti kalangan buruh dan karyawan rendahan. Bagaimanapun, penundaan pengenaan PPN dan PPnBM ataupun penurunan tingkat PPh lebih tertuju kepada lapisan masyarakat menengah-atas. Boleh diyakini, amat sedikit masyarakat lapisan bawah bisa menikmati keringanan pajak itu. Dilihat dari segi parameter saja -- barang mewah -- jelas sekali kepada siapa kebijakan itu ditujukan.

Karena itu pula, kalau pemerintah tak responsif terhadap tuntutan kalangan karyawan dan buruh -- PTKP tak dinaikkan -- rasa ketidakadilan segera tertoreh. Bagi kalangan buruh dan karywan rendahan, terutama, pajak akan terasa sebagai instrumen yang menyengsarakan.

Dirjen Pajak sendiri sudah memastikan bahwa tuntutan kalangan karyawan dan buruh mengenai kenaikan PTKP ini akan dikabulkan. Yang belum jelas adalah besaran kenaikan itu sendiri. Tentu kita berharap agar kebijakan tentang kenaikan PTKP ini tak terkesan sekadar basa-basi atau pura-pura mengakomodasi aspirasi rakyat kecil. Kenaikan PTKP seyogyanya dilakukan dalam hitungan signifikan. Minimal sesuai tuntutan kalangan karyawan dan buruh: naik dari Rp 240.000 menjadi Rp 1 juta per bulan.

Namun, tentu saja, bersamaan dengan itu pemerintah -- terutama Ditjen Pajak -- dituntut makin bekerja keras menggali penerimaan pajak. Kenaikan PTKP jangan sampai membuat target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 213,8 triliun jadi tak tercapai.

Dalam konteks itu, Ditjen Pajak harus kian kreatif dan konsisten melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak. Berbagai kemungkinan yang membuat tax ratio semakin meningkat harus terus dicari. Terlebih kita tahu bahwa sejauh ini tax ratio kita, dibanding dengan di negara-negara lain, masih relatif rendah. Masih banyak warga masyarakat yang sesungguhnya potensial belum bisa dijaring menjadi wajib pajak. Bahkan mereka yang sudah nyata-nyata terdaftar sebagai wajib pajak pun tak sedikit yang berupaya melakukan penghindaran atau pengemplangan pajak.

Tingkat kepatuhan kalangan wajib pajak, apa boleh buat, memang masih memrihatinkan. Tak heran jika tunggakan pajak pun bisa menggunung hingga senilai Rp 17 triliun.

Karena itu pula, jajaran Ditjen Pajak dituntut pula terus mengasah kemampuan dalam rangka intensifikasi pajak. Bagaimanapun, setiap celah yang memungkinkan wajib pajak menghindari kewajiban harus bisa ditutup. Untuk itu, strategi dan metode untuk menggali penerimaan pajak ini harus terus dieluasi -- dan jika memang perlu diganti. Di sisi lain, langkah-langkah terobosan yang membuat layanan pajak kian mudah dan nyaman harus pula terus dilakukan.

Singkat kata, kenaikan PTKP jangan membuat potensi penerimaan pajak benar-benar menguap.***

Jakarta, 2 Mei 2003