25 Maret 2003

Modal Usaha Asuransi

Kita tidak kaget ketika terungkap bahwa belum lama ini pemerintah menjatuhkan sanksi pembatasan kegiatan usaha terhadap dua asuransi umum dan satu asuransi jiwa. Mereka adalah PT Ganesha Danamas dan PT Securindo Adigama -- masing-masing perusahaan asuransi umum -- serta PT Inda Tamporok, perusahaan asuransi jiwa. Dengan terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha, ketiga perusahaan asuransi itu tak boleh lagi menerbitkan polis baru.

Kita menganggap sanksi itu wajar dan semestinya, karena industri asuransi nasional memang tidak sehat. Dalam konteks ini, tingkat kecukupan modal -- lazim dikenal sebagai ratio based capital (RBC) -- kebanyakan perusahaan asuransi kita tergolong tidak memadai. Hanya sedikit perusahaan asuransi yang memiliki tingkat RBC jauh di atas patokan minimal yang digariskan dalam ketentuan pemerintah. RBC Ganesha, Securindo, dan Inda, misalnya, konon masing-masing terpuruk di bawah patokan yang harus bisa mereka penuhi pada akhir 2002, yaitu sebesar 75 persen.

Padahal ketentuan tentang tingkat RBC itu sendiri pada akhir tahun ini meningkat lagi menjadi 100 persen, dan tahun depan menjadi 120 persen. Itu berarti, masalah menyangkut aspek permodalan ini akan kian menjadi beban berat yang harus dipikul industri asuransi nasional kita. Data menunjukkan, hingga triwulan III/2002, baru 20-an perusahaan asuransi yang memiliki RBC di atas 75 persen.

Karena itu pula, jika tak kunjung mengalami perbaikan modal, kita bisa menduga bahwa sejumlah perusahaan lain kemungkinan besar menyusul terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha ini. Bahkan boleh jadi lebih tragis lagi: mereka terkena sanksi pencabutan izin usaha kalau pemerintah menilai prospek mereka sudah pupus karena tingkat permodalan sudah tak bisa lagi diharapkan membaik.

Sebelum Ganesha, Securindo, dan Inda sendiri, tujuh perusahaan lain sudah lebih dulu mengalami nasib serupa: terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha. Itu suatu bukti bahwa problem RBC ini memang serius membayangi industri asuransi nasional kita. Itu juga bukan problem yang baru menggejala kemarin sore, melainkan sudah mengundang perhatian sejak industri asuransi nasional tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Seperti dialami juga oleh industri perbankan nasional, penyebab utama tumbuhnya penyakit dalam industri asuransi kita ini adalah regulasi yang terlampau longgar di waktu lalu. Persisnya, syarat modal minimal untuk mendirikan perusahaan asuransi kelewat ringan. Dengan hanya berbekala modal minimal sebesar Rp 2 miliar (asuransi jiwa) dan Rp 3 miliar (asuransi kerugian), dulu orang memang dibuat sangat gampang mendirikan perusahaan asuransi. Karena itu, secara keseluruhan perusahaan asuransi di dalam negeri tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Kenyataan itu segera menjadi masalah, karena kegiatan usaha mereka tak bisa tumbuh melejit bak meteor. Itu pula yang kemudian menghamparkan kenyataan bahwa kebanyakan perusahaan asuransi kita memiliki modal jauh di bawah ideal. Depkeu pernah menyebutkan, secara umum tiap perusahaan asuransi ini minimal seharusnya memiliki modal sebesar Rp 50 miliar. Kenyataannya, masih menurut Depkeu, hanya 24 persen dari 168 perusahaan asuransi yang kini beroperasi memiliki modal sekitar angka itu.

Dengan kata lain, kebanyakan industri asuransi nasional ini dalam kondisi sulit bisa survive jika tak segera memperoleh injeksi modal tambahan. Karena itu, sekali lagi, ke depan ini perusahaan yang terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha atau bahkan pencabutan izin usaha bisa kian banyak lagi.

Namun injeksi modal baru rupanya sulit bisa diperoleh kalangan perusahaan asuransi nasional ini. Buktinya, itu tadi, sekadar memenuhi ketentuan RBC 75 persen pada akhir tahun lalu saja, kebanyakan perusahaan sudah megap-megap. Sementara, seperti sudah disinggung, tingkat RBC ini masih akan meningkat lagi.

Entah apa yang membuat orang cenderung enggan menginjeksikan dana untuk tambahan modal ke jajaran perusahaan asuransi ini. Boleh jadi, mereka miris melihat persaingan yang kian ketat seiring era globalisasi. Mungkin orang-orang berduit tak mau menanggung risiko: dana mereka amblas begitu saja karena perusahaan yang mereka injeksi kalah bersaing oleh perusahaan-perusahaan yang sudah telanjur established atau termasuk raksasa multinasional.

Di lain pihak, pemerintah tak mungkin bisa diharapkan menebar kebijakan seperti telah ditempuh terhadap perbankan: melakukan program rekap modal. Ini bukan sekadar perkara anggaran negara telanjut terbatas, melainkan terutama karena program seperti itu ternyata sangat ruwet. Pemerintah, juga DPR, tampaknya tak mau mengulangi keruwetan serupa.

Jadi, solusi atas masalah kecukupan modal ini harus jadi pemikiran pelaku usaha asuransi sendiri. Jangan bersandar pada pemerintah.***
Jakarta, 25 Maret 2003

21 Maret 2003

Contingency Plan

Perang akhirnya pecah. AS mulai menggempur Irak. Tak ada yang bisa memastikan, sampai berapa lama perang ini akan berlangsung: apakah sepekan, sebulan, tiga bulan, setahun ... Tapi satu soal sudah pasti: perang ini melahirkan implikasi global di bidang politik maupun ekonomi-bisnis.

Bahkan sebelum perang meletus, implikasi itu sudah nyata menggelombang. Dalam dunia politik, kita lihat dunia terpolarisasi antara kelompok negara pro-AS dan kelompok negara yang menolak rencana serbuan militer ke Irak. Dalam kaitan ini pula, AS terang-terangan melecehkan keberadaan PBB. Sementara aksi-aksi demo yang menentang perang juga riuh-rendah menggelombang di mana-mana.

Dalam dunia ekonomi-bisnis, implikasi rencana perang yang dicanangkan AS ini membuat harga minyak dunia melejit signifikan. Hanya dalam tempo beberapa pekan, harga minyak ini jauh meninggalkan patokan yang dibuat OPEC -- sebesar 22-28 dolar per barel -- ke level di atas 35 dolar per barel. Efek berantai pun segera merebak ke mana-mana dan ke berbagai sektor.

Di dalam negeri, kecemasan dunia terhadap perang AS-Irak ini membuat dunia industri kelimpungan: kalangan pembeli di luar negeri menunda atau bahkan membatalkan pembelian aneka komoditas ekspor. Kalaupun pengiriman barang masih berjalan, ongkos transportasi berlipat -- terutama sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Belum lagi biaya asuransi pun ikut-ikutan meningkat.

Sementara itu, kondisi pasar ekspor pun berubah menjadi buram. Permintaan di negara-negara utama tujuan ekspor kita menurun -- karena daya beli konsumen melorot akibat efek domino kenaikan harga minyak dunia, atau karena pasar mencemaskan perang.

Singkat kata, sebelum AS menyerbu Irak pun, kehidupan ekonomi-bisnis global sudah buram. Justru itu, setelah perang itu kini meletus -- tanpa kepastian sampai berapa lama akan berlangsung -- kehidupan ekonomi-bisnis global ini jelas bakal kian buram lagi. Amat mencemaskan. Resesi global membayang terang-benderang. Padahal proses recovery senantiasa membutuhkan waktu lama.

Karena itu, berbagai negara lantas menyiapkan langkah-langkah darurat (contingency plan) yang meliputi berbagai sektor. Pemerintah Jepang dan AS, misalnya, bersepakat menjalin kerja sama di bidang pasar uang dan pasar saham. Intinya, penyiapan langkah-langkah darurat tersebut merujuk pada pengamanan atas kemungkinan gejolak pasar uang dan pasar saham manakala perang AS-Irak pecah.

Di lain pihak, pemerintah Taiwan bahkan mengisyaratkan akan mengambil langkah-langkah lebih drastis -- antara lain mengaktifkan Dana Stabilitas Nasional (NSF) atau menghentikan sama sekali aktivitas pasar modal jika gejolak menjadi tak terkendali. Dana yang tersimpan di NSF siap digunakan untuk membeli saham-saham yang mengalami penurunan harga sangat tajam.

Sementara pemerintah Korsel menyatakan akan mengintervensi pasar valas jika memang diperlukan dalam rangka menstabilkan pasar. Langkah lain yang mereka pertimbangkan adalah memberikan pembebasan pajak (tax break) dan injeksi likuiditas ke sistem finansial.

Pemerintah kita sendiri tak terkecuali sudah menyiapkan contingency plan ini. Namun, terus-terang, contingency plan yang disiapkan pemerintah untuk menghadapi dampak perang AS-Irak ini amat tidak komprehensif. Juga tak bersipat taktis-strategis sesuai kondisi-kondisi tertentu yang diskenariokan menurut perkembangan yang terjadi.

Apa yang disiapkan pemerintah itu lebih terbatas menyangkut pengamanan pasok bahan bakar minyak di dalam negeri. Persisnya: kalau impor minyak terganggu, pemerintah akan membeli minyak yang menjadi bagian para kontraktor bagihasil (KPS).

Lucunya, contingency plan itu justru ngawur: minyak eks KPS sulit diproses di kilang-kilang di dalam negeri. Apa boleh buat, karena kilang-kilang itu hanya cocok untuk jenis minyak yang kita impor dari Kuwait dan Saudi Arabia.

Dengan kata lain, contingency plan yang disiapkan pemerintah ini sulit diandalkan mampu menjawab kondisi darurat yang lahir sebagai dampak perang AS-Irak. Kita tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Kita hanya menangkap kesan bahwa pemerintah kita kurang serius mengantisipasi dampak perang AS-Irak ini.

Kesan tersebut makin gamblang tercermin lewat pernyataan kalangan pejabat yang sekadar meminta dunia usaha nasional agar bersiap menghadapi dampak perang AS-Irak. Jadi, persoalan yang dihadapi pemerintah dan dunia usaha seolah saling terpisah sehingga tak perlu dirumuskan contingency plan yang komprehensif dan drastis-strategis.***

Jakarta, 21 Maret 2001

18 Maret 2003

Titik Keseimbangan SBI

Dalam beberapa pekan terakhir, tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) meluncur turun sampai puluhan basis poin. Hasil lelang pada 5 Maret lalu, misalnya, bunga SBI berjangka tiga bulan turun sebesar 71,385 basis poin menjadi 11,96 persen dari 12,68 persen pada pekan sebelumnya. Dalam lelang awal Februari silam, bunga SBI tiga bulan ini turun 25,707 basis poin. Sementara pada lelang Januari turun 17,78 basis poin.

Di lain pihak, bunga SBI satu bulan hasil lelang 12 Maret lalu terpatok sebesar 11,39 persen. Itu turun 58 basis poin dari 11,97 persen pada lelang 5 Maret lalu. Penurunan tersebut tertinggi dalam satu tahun terakhir. Penurunan yang mendekati hasil lelang terakhir, yakni sebesar 33 basis poin, terjadi pada 5 Juni tahun lalu.

Di atas kertas, penurunan bunga SBI ini niscaya mendorong bunga simpanan di perbankan -- khususnya deposito -- tertekan turun juga -- meski tidak selalu otomatis. Kecenderungan tersebut pada gilirannya mengondisikan bunga kredit bank melorot. Itu berarti, bank-bank bisa diharapkan lebih terdorong melakukan ekspansi kredit. Dengan demikian, sektor riil bisa bergeliat lebih cepat. Kalau sudah begitu, pemulihan ekonomi nasional pun hampir pasti bergulir makin kencang.

Bagi pemerintah sendiri, penurunan bunga SBI ini bisa berdampak positif terhadap sisi pengeluaran. Itu terutama terkait dengan bunga obligasi rekap di sejumlah perbankan. Penurunan SBI, notabene sejauh ini sudah terbilang signifikan, niscaya mengurangi beban bunga obligasi rekap yang harus dikeluarkan pemerintah.

Meski begitu, tren penurunan bunga SBI ini juga kemungkinan menorehkan sisi lain yang bisa tergolong rawan buat kepentingan nasional. Jika penurunan yang sudah lumayan signifikan itu masih saja terus berlanjut, implikasi-implikasi serius segera menggejala. Sebut saja, masyarakat bisa beramai-ramai mengalihkan investasi di perbankan -- berupa deposito -- ke alternatif yang lebih menjanjikan keuntungan. Masyarakat tak lagi tergiur dan tak merasa nyaman menyimpan dana di bank. Mereka tergerak mengalihkan investasi itu ke instrumen lain di luar perbankan -- entah berupa portofolio saham, obligasi, atau surat-surat utang lain.

Tendensi ke arah itu bahkan sudah mulai terlihat nyata:
transaksi produk-produk reksadana belakangan ini mencelat. Data menunjukkan, pada akhir 2002 dana yang dikelola reksadana ini mencapai sekitar Rp 46 triliun. Tapi hanya dalam tempo sebulan kemudian, persisnya pada akhir Januari 2003 lalu, angka itu sudah membengkak menjadi sekitar Rp 56 triliun.

Boleh jadi, selama bunga SBI tak segera menanjak lagi, pengalihan investasi dari deposito ke produk-produk reksadana ini masih akan terus berlanjut. Kenyataan seperti itu bisa membuat bank menggelepar. Likuiditas mereka mungkin terganggu. Atau, ini yang lebih berkemungkinan, kemauan dan kemampuan mereka menyalurkan kredit serta-merta jadi menciut. Betapa tidak, karena dana untuk itu -- notabene hasil mobilisasi dana masyarakat -- banyak dialihkan nasabah ke luar bank.

Pada gilirannya, itu membuat penghasilan bank-bank atas jasa penyaluran kredit jadi melorot drastis. Ini bisa lebih parah bagi bank-bank rekap karena bunga obligasi rekap pun ikut-ikutan turun. Padahal, di sisi lain, overhead cost yang mereka keluarkan tak serta-merta mengikuti tren penghasilan. Akibatnya, jelas, bank-bank bisa menggelepar.

Dalam kaitan itu pula, kebangkitan sektor riil lagi-lagi tersendat. Apa boleh buat, karena kucuran kredit ternyata masih saja hanya menjadi mimpi. Justru itu, percepatan pemulihan ekonomi nasional juga tinggal menjadi angan. Terlebih jika itu dikaitkan dengan stabilitas kurs rupiah.

Kita terus-terang khawatir, penurunan bunga SBI membuat stabilitas kurs rupiah jadi goyah lagi. Maklum karena kepercayaan terhadap rupiah selama ini banyak terkait dengan tingkat bunga simpanan di bank. Jika bunga simpanan di bank ini turun drastis -- sebagai konsekuensi penurunan bunga SBI dalam hitungan signifikan --, boleh jadi orang cenderung enggan menggenggam lagi rupiah. Mudah ditebak, kalau sudah begitu, stabilitas kurs rupiah pun terkoyak. Konsekuensinya, pemulihan ekonomi yang sudah mulai terbangun bisa-bisa berantakan lagi.

Sejak jauh hari kita memang sangat berharap bunga SBI ini turun. Tapi, tentu, kita juga tak menginginkan penurunan itu demikian ektrem hingga potensial mengganggu sendi-sendi ketahanan dan proses ekonomi kita sendiri.

Karena itu, kita berharap agar Bank Indonesia segera bisa menemukan titik keseimbangan baru yang mengondisikan penurunan SBI benar-benar kondusif bagi kehidupan ekonomi kita. Itu berarti, Bank Indonesia perlu segera bertindak.***

Jakarta, 18 Maret 2003

14 Maret 2003

Kinerja Ekspor Nonmigas

Jangan lega dan bangga dulu atas kinerja ekspor nonmigas kita dalam sebulan terakhir. Memang, dengan nilai ekspor mencapai 3,73 miliar dolar AS selama Januari lalu, kinerja ekspor nonmigas ini sekarang terlihat amat mengesankan. Betapa tidak, karena angka itu merupakan nilai ekspor tertinggi sejak krisis ekonomi menerpa.

Sekadar gambaran, Januari 1998, ekspor nonmigas ini mencapai 3,34 miliar dolar AS. Lalu Januari 1999, angka itu turun menjadi 2,37 miliar dolar, Januari 2000 naik menjadi 3,25 miliar dolar, Januari 2001 naik lagi menjadi 3,50 miliar dolar, dan Januari 2002 turun menjadi 3,22 miliar dolar. Tapi, itu tadi, Januari lalu kinerja ekspor nonmigas ini melejit menjadi 3,73 miliar dolar.

Hanya, itu masih terkesan semu. Bagaimanapun tak ada jaminan bahwa kinerja ekspor nonmigas ini akan terus melejit. Bahkan, boleh jadi, bisa stagnan di posisi terakhir pun sudah bagus.

Pesimistis, memang. Tapi itu lebih dari ketimbang kita kecewa karena terkecoh oleh perkembangan sesaat. Malah dengan bersikap pesimistis ini, kita bisa menguliti peta persoalan sekaligus merumuskan langkah-langkah yang sepatutnya kita ayunkan. Dengan demikian, di masa depan, perkembangan mengesankan ekspor nonmigas ini bukan lagi fenomena sesaat.

Jujur saja, kinerja ekspor nonmigas selama Januari lalu mencelat lebih karena faktor kebetulan: harga komoditas pertanian di pasar internasional membaik. Syukur kalau saja kenyataan itu terus bertahan, atau bahkan kian membaik. Tapi jika perkembangan kemudian malah menyeret harga komoditas pertanian ini melorot kembali -- kenyataan yang sangat mungkin terjadi -- serta-merta kinerja ekspor nonmigas yang sudah mengesankan tadi bisa membuat kita harus mengurut dada.

Dengan kata lain, kinerja bagus ekspor nonmigas selama Januari lalu bukan karena kendali pasar sudah berada di tangan kita. Bagaimanapun, kita hanya terbawa arus perkembangan: harga di pasar internasional membaik. Itu sekaligus menunjukkan bahwa perkembangan ekspor nonmigas selama Januaru lalu bersipat semu. Perkembangan itu bukan karena komoditas-komoditas ekspor kita mampu mendobrak pasar melalui kehebatan daya saing.

Semunya perkembangan ekspor nonmigas selama Januari lalu ini kian gamblang karena secara struktural hanya bertumpu pada produk-produk pertanian. Padahal, idealnya, kinerja ekspor yang membaik ini merata dialami semua komoditas. Dengan demikian, perkembangan yang terjadi tidak rapuh alias benar-benar kokoh. Rontoknya harga komoditas tertentu tak akan serta-merta membuat kinerja ekspor kita secara keseluruhan jadi ambruk.

Fakta menunjukkan bahwa komoditas-komoditas andalan ekspor nonmigas kita sekarang ini justru sedang terpuruk. Ekspor kayu lapis, misalnya, entah kapan bisa bangkit kembali. Dalam peta global, ekspor kayu lapis kita sekarang ini -- setelah di masa lampau demikian digjaya menguasai pasar -- hanya bisa defensif. Apa boleh buat karena industri bersangkutan di dalam negeri telanjur dibelit aneka masalah yang demikian ruwet. Sebut saja beban pungutan menggunung, kebijakan tidak kondusif, pasokan bahan baku seret, dan banyak lagi.

Ekspor komoditas pertanian sendiri dibayangi bahaya serius. Itu terutama terkait dengan diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Kesehatan Masyarakat oleh pemerintah AS.
Itu dilakukan pemerintahan Presiden George W Bush dalam rangka menghadapi risiko bioterorisme.

Undang-undang itu sendiri memberikan otoritas baru kepada Sekretariat Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat untuk melaksanakan aksi perlindungan atas keamanan persediaan pangan nasional AS dari ancaman kontaminasi yang disengaja. Ketentuan yang termuat dalam undang-undang itu akan diterapkan pada semua produk pangan dan produk pakan ternak yang diatur oleh FDA, termasuk suplemen pangan, formula bayi, minuman dan feed additive -- kecuali daging nonunggas, daging ayam, dan produk telur olahan yang diatur oleh US Department of Agriculture (USDA).

Berbagai peraturan itu antara lain registrasi fasilitas (pabrik) pangan. Semua industri pangan -- baik domestik maupun asing -- yang memroduksi, memroses, mengemas, atau menyimpan pangan untuk konsumsi di dalam negeri AS harus diregistrasi oleh Food and Drug Administration (FDA) paling lambat 12 Desember 2003. Registrasi terdiri atas penyediaan informasi yanng mencakup nama perusahaan, alamat, dan aspek-aspek lain yang terkait.

Itu berarti, ekspor komoditas pertanian kita ke AS -- juga ke negara-negara lain kalau mereka menempuh langkah serupa -- akan menjadi amat sulit. Kalau saja kita tak segera mampu melakukan langkah-langkah pembenahan dan penyesuaian, niscaya kinerja ekspor komoditas pertanian kita jadi anjlok.***
Jakarta, 14 Maret 2003

11 Maret 2003

Exit Strategy

Solusi alternatif exit strategy yang belum lama ini disodorkan sejumlah ekonom sungguh terasa membius. Soal pertumbuhan ekonomi, misalnya, mereka menyebut bahwa selepas kontrak Dana Moneter Internasional (IMF) dan pemerintah ini angka tentang itu bisa mencapai 6 sampai 7 persen per tahun atau dua kali lipat lebih dibanding dewasa ini. Justru itu, menurut mereka, pemulihan ekonomi nasional bisa berlangsung lebih cepat dibanding dalam kawalan IMF seperti selama ini.

Skenario Indonesia Bangkit -- demikian kelompok 35 ekonom itu menyebut konsep alternatif yang mereka sodorkan -- menyatakan bahwa itu dimungkinkan kalau saja pemerintah menerapkan skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Skenario Indonesia Bangkit, tandas mereka, juga bisa diandalkan mampu menjawab masalah mendesak, seperti cash flow, ketahanan fiskal, juga neraca pembayaran.

Sekali lagi, solusi alternatif itu sungguh terasa membius -- saking amat mengesankannya. Konsep itu sendiri dirumuskan Rizal Ramli dan kawan-kawan untuk menandaskan bahwa peran IMF sama sekali sudah tak dibutuhkan. Bagi mereka, pemerintah sama sekali tak beralasan membuka kemungkinan memperpanjang kontrak dengan IMF -- bahkan meski cuma untuk hitungan sehari sekalipun.

Itu tak lain karena lembaga multilateral tersebut mereka nilai gagal memberikan resep-resep cespleng bagi pemulihan ekonomi nasional. Bahkan, seperti acap mereka paparkan dalam berbagai kesempatan, dalam sejumlah kasus, resep-resep IMF justru melahirkan kenyataan-kenyataan yang merugikan kepentingan nasional.

Kita sependapat bahwa program-program IMF dalam memulihkan ekonomi nasional tak sepenuhnya sesuai harapan -- dalam arti tak menjadi injeksi yang segera menyehatkan. Kita juga tak menampik kenyataan bahwa sepak-terjang IMF dalam merumuskan program-program pemulihan ekonomi kerap menjengkelkan: karena terkesan arogan dan cenderung memaksakan kehendak mereka. Terlebih bila program yang mereka paksakan itu terkesan menyelipkan kepentingan negara maju atas perekonomian kita.

Tapi kita juga jangan buru-buru terkesima oleh konsep ataupun argumen tentang Skenario Indonesia Bangkit ini. Kalau tidak, bisa-bisa kita terjebak oleh kekecewaan baru setelah kita dihadapkan pada kenyataan betapa berbagai program IMF selama ini tak benar-benar segera menyelesaikan krisis ekonomi yang membelit kita sejak medio 1997. Kita perlu bersikap waspada bahwa Skenario Indonesia Bangkit juga belum tentu serta-merta menjadi solusi alternatif yang benar-benar cespleng. Paling tidak, implementasi konsep tersebut jelas tak bisa semudah membalikkan tangan. Bagaimanapun, Skenario Indonesia Bangkit baru merupakan hipotesis yang belum teruji benar adanya.

Kita menghargai keinginan serta niat baik Rizal Ramli dan kawan-kawan dengan menyodorkan Skenario Indonesia Bangkit ini. Dengan itu, mereka mencoba meyakinkan kita bahwa tanpa bantuan program IMF pun kita bisa mengatasi krisis ekonomi. Bahwa kontrak pemerintah dengan IMF sama sekali tak beralasan diperpanjang karena kita bisa menegakkan kemampuan kita sendiri dalam mengatasi krisis ekonomi yang telanjur berkepanjangan ini.

Kendati demikian, kita juga beralasan merasa ragu bahwa Skenario Indonesia Bangkit akan serta-merta membawa kita terbebas dari belitan krisis ekonomi. Ini bukan semata karena skenario itu sendiri baru sekadar merupakan hipotesis, namun juga karena kita juga tak yakin bisa benar-benar mengimplementasikannya. Betapa tidak, karena justru di situ pula -- tahap implementasi -- sejatinya titik lemah kita selama ini.

Dalam banyak kasus, konsep-konsep indah dan brilian acap tak bermakna apa-apa pada setelah diimplementasikan di lapangan. Bahkan tidak jarang konsep indah itu malah menjadi jebakan yang menyakitkan akibat perilaku kita sendiri yang mudah tergoda melakukan penyimpangan di lapangan. Sekadar menyebut contoh, dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) -- konsep yang sebenarnya indah dalam rangka penghapusan subsidi -- ternyata tak sepenuhnya mencapai sasaran karena tindak penyimpangan di sana-sini.

Begitu juga dalam konteks pemulihan ekonomi. Program-program yang dirumuskan demikian bagus -- bersama IMF pula -- acap tak segera membawa perbaikan terhadap sasaran yang dituju karena pada tahap implementasi mengalami deviasi-deviasi. Kenyataan seperti itu tertoreh karena tarik-menarik kepentingan yang acap kental beraroma politis. Tengok saja program divestasi sejumlah bank ataupun privatisasi BUMN.

Walhasil, entah dengan menerapkan program IMF, Skenario Indonesia Bangkit, atau konsep pemulihan apa pun, ekonomi kita akan tetap cenderung berjalan di tempat selama kita tak memperbaiki diri. Kita sudah terlalu lama dan sudah teramat banyak berbuat sia-sia hanya karena kelemahan kita dalam mengimplementasikan konsep atau program pemulihan.***

Jakarta, 11 Maret 2003