09 Agustus 2002

Penjamin Polis

Mestinya sudah sejak jauh-jauh hari kita memiliki lembaga penjamin polis asuransi. Paling tidak, kasus likuidasi atau pembekuan kegiatan usaha sejumlah bank, beberapa tahun lalu, seharusnya menggugah kesadaran pemerintah maupun pelaku industri asuransi nasional bahwa nasib nasabah (pemegang polis) sungguh mutlak perlu memperoleh perlindungan -- dan karena itu perlu dibentuk lembaga penjamin polis asuransi.

Dengan itu, nasabah tidak harus menjadi korban atas risiko yang dialami perusahaan asuransi -- entah terkena tindak likuidasi oleh pemerintah, divonis pailit oleh pengadilan, ataupun risiko lain. Dengan adanya lembaga penjamin polis, dana nasabah bisa selamat alias tak turut hangus bersama risiko yang melindas perusahaan asuransi bersangkutan.

Tapi, apa mau dikata, kita tampaknya memang cenderung abai. Kita acap lalai atas berbagai kemungkinan yang sudah jelas sewaktu-waktu bisa melanda sekalipun. Kita baru tergerak berbuat sesuatu manakala sudah dihadapkan pada kondisi sangat mendesak. Kita grasa-grusu bertindak ketika risiko buruk sudah di depan hidung.

Itu pula yang kini terjadi. Pemerintah dan industri asuransi sibuk berupaya membentuk lembaga penjamin polis asuransi. Gagasan tentang itu tertoreh setelah sembilan perusahaan asuransi segera terkena vonis mematikan: dilikuidasi karena tak mampu memenuhi ketentuan menyangkut permodalan (risk base capital).

Ironinya, lembaga penjamin polis asuransi sulit diharapkan bisa terwujud dalam satu-dua bulan ini. Pemerintah dan kalangan pelaku industri asuransi nasional sendiri mengakui, langkah ke arah itu membutuhkan waktu lumayan lama. Paling tidak, lembaga penjamin polis asuransi nyaris mustahil sudah bisa berdiri pada tahun 2002 ini juga. Padahal, kebutuhan menyangkut perlunya keberadaan lembaga tersebut sudah sangat mendesak -- karena vonis likuidasi terhadap sejumlah perusahaan asuransi itu dijatuhkan pemerintah dalam dua-tiga bulan mendatang, sebelum Otoritas Jasa Keuangan resmi berdiri.

Dalam kaitan itu, enam perusahaan asuransi sejak beberapa waktu lalu sudah terkena pembatasan kegiatan usaha. lalu tiga perusahaan lagi telah mengembalikan izin usaha kepada pemerintah. Itu tadi, karena masing-masing perusahaan tak mampu memenuhi ketentuan tentang permodalan minimal alias tidak sehat. Mereka gagal memperoleh suntikan modal baru ataupun investor. Sementara alternatif merger pun tetap tak menyelamatkan mereka karena tak ada pihak yang tertarik.

Itu pula yang membuat likuidasi atas sejumlah perusahaan asuransi nasional ini sungguh niscaya. Tinggal menunggu waktu. Konon, itu terkait dengan persiapan teknis menyangkut penyelesaian kewajiban masing-masing perusahaan.

Hanya, ini juga ironis, penyelesaian atas hak pemegang polis tak tercakup dalam persiapan teknis itu -- karena lembaga penjamin polis belum terbentuk. Dengan kata lain, dana nasabah kesembilan perusahaan asuransi hampir pasti hangus alias tak bisa ditarik kembali. Pihak Depkeu sendiri menyebutkan bahwa itu merupakan risiko investasi yang harus rela ditanggung pemegang polis.

Kenyataan itu pula, sejatinya, yang mendorong pemerintah dan industri asuransi nasional belakangan ini tergerak berupaya membentuk lembaga penjamin polis asuransi. Namun karena waktu sudah sangat mepet, upaya tersebut nyaris mustahil bisa menyelamatkan dana nasabah kesembilan perusahaan asuransi yang segera dilikuidasi pemerintah.

Itu jelas tidak fair. Terlebih pemegang polis tak
bisa melakukan tindak pengamanan atas dana mereka. Maklum karena mereka tak bisa memastikan perusahaan mana saja yang akan dilikuidasi pemerintah. Informasi tentang itu nyaris tak pernah ditebar secara transparan. Bahkan sekadar informasi tentang perusahaan yang terkena sanksi peringatan pun, publik hapir tak pernah tahu-menahu. Soal itu lebih banyak sebatas menjadi urusan pemerintah dan perusahaan bersangkutan.

Justru itu, tindak likuidasi atas sejumlah perusahaan asuransi ini jelas akan menelan banyak korban. Entah berapa banyak pemegang polis yang akan dibuat melongo oleh tindakan itu. Bukan saja pertanggungan risiko tiba-tiba pupus, melainkan nilai simpanan ataupun nilai klaim di sembilan perusahaan asuransi itu mendadak hangus.

Kenyataan itu, pada gilirannya, bisa berdampak negatif terhadap industri asuransi nasional secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat rontok. Paling tidak, itu akan menghambat laju pertumbuhan industri asuransi kita -- entah hingga berapa lama.

Padahal pangkal persoalan itu sungguh sederhana: karena pemerintah dan industri asuransi nasional abai dan lalai terhadap pentingnya keberadaan lembaga penjamin polis. Kepedulian tentang itu baru merekah sekarang. Tapi, itu tadi, pemegang polis sejumlah perusahaan asuransi yang segera dilikuidasi pemerintah tetap tak terselamatkan. Mereka harus rela menjadi tumbal sebuah sikap abai dan lalai.***

Jakarta, Agustus 2002

Pusat Krisis

Tidak ada alasan bagi kita untuk tak mendukung gagasan pemerintah mendirikan Pusat Krisis. Lembaga tersebut memang sungguh terasa menjadi kebutuhan mendesak. Karena kehidupan sosial-ekonomi kita -- notabene belum pulih dari krisis yang mendera sejak medio 1997 silam -- terancam bahaya besar. Bahaya tersebut -- dipicu oleh kegiatan sejumlah industri manufaktur yang menunjukkan gejala menuju titik balik -- terutama merujuk pada masalah ketenagakerjaan.

Dunia ketenagakerjaan kita memang sebuah masalah besar dan mencemaskan. Selama ini saja, di bawah bayang-bayang pertumbuhan angkatan kerja baru yang praktis tak bisa dibendung, sekitar 5,3 juta penduduk usia produktif tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Angka pengangguran absolut itu kini serta-merta membengkak menjadi hampir 5,8 juta. Itu terkait dengan kepulangan 400.000 lebih tenaga kerja ilegal dari Malaysia.

Kenyataan itu kian mencemaskan lagi karena sejumlah industri manufaktur memperlihatkan gejala menuju titik balik sehingga mengurangi kemampuan mereka menyerap tenaga kerja. Industri sepatu, misalnya, belakangan ini kehilangan order ekspor dalam jumlah signifikan karena pembeli di luar negeri berpaling ke produk negara lain. Tak bisa tidak, kapasitas industri pun terpaksa diciutkan. Konsekuensinya, apa boleh buat, tenaga kerja juga dikurangi.

Begitu juga industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Bahkan sejumlah industri TPT sudah hengkang ke luar negeri.
Walhasil, karena kapasitas melorot serta sejumlah pelaku memutuskan hengkang ke luar negeri, industri manufaktur ini bukan berperan mengurangi tekanan masalah ketenagakerjaan, melainkan malah menambah berat beban yang selama ini sudah menggunung. Dengan kata lain, industri manufaktur kini justru memberi kontribusi terhadap penambahan jumlah penganggur.

Tak bisa tidak, karena itu, dunia ketenagakerjaan kita pun kian buram dan amat mencemaskan. Bagaimanapun, jumlah penganggur yang semakin membengkak signifikan amat potensial meningkatkan tindak kriminalitas maupun masalah sosial lain.

Karena itu, kehadiran Pusat Krisis atau apa pun namanya sungguh sangat dibutuhkan. Ini bukan saja karena masalah ketenagakerjaan kian mencemaskan, melainkan juga karena pertumbuhan ekonomi nasional sulit diharapkan mampu menjadi penyelamat. Dengan tingkat pertumbuhan seperti ditargetkan pemerintah sebesar 3-4 persen per tahun, daya serap kegiatan ekonomi ini sungguh terlampau kecil. Bahkan sekadar menyerap angkatan kerja baru saja, pertumbuhan ekonomi kita selama ini relatif tak berarti.

Di lain pihak, kegiatan investasi juga tak memperlihatkan gambaran melegakan. Gambaran tersebut tercermin dalam angka impor barang modal dan bahan baku industri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama semester I/2002 impor barang modal anjlok 29,91 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara impor bahan baku, dalam periode bersamaan, melorot 21,35 persen.

Itu menegaskan bahwa kegiatan investasi di dalam negeri memang melemah. Data di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri menunjukkan, selama semester I/2002 ini investasi domestik anjlok 40 persen lebih. Sementara investasi asing turun hingga di atas 70 persen.

Jelas, itu petunjuk gamblang bahwa iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif lagi. Apa yang menjadi penyebab, dunia usaha nasional sudah sejak lama menunjuk faktor keamanan yang tak cukup terjamin, penegakan hukum lemah, pungutan merajalela, birokrasi berbelit, juga upah pekerja dan ongkos produksi lain terus merekot.

Karena itu, sekali lagi, kehadiran Pusat Krisis sungguh sangat dibutuhkan. Lembaga tersebut sangat diharapkan mampu membesut iklim investasi di dalam negeri menjadi berkilau lagi. Dengan demikian, gejala hengkangnya kalangan investor ke luar negeri bisa dicegah. Bahkan, selebihnya, investor baru diharapkan kembali berbondong-bondong menabur proyek penanaman modal di Indonesia. Dengan itu pula, bahaya mencemaskan di balik masalah ketenagakerjaan yang kini membayang niscaya bisa banyak dikurangi.

Tapi kita perlu mengingatkan: Pusat Krisis harus benar-benar mampu menumbuhkan kesadaran sekaligus menerjemahkan sense of crisis menjadi langkah-langkah jitu menanggulangi masalah. Ini mutlak karena sejatinya soal itu pula yang menjadi penyebab lembaga serupa yang pernah ada hanya elok di atas kertas. Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) yang diluncurkan Kadin Indonesia ataupun Sekretariat Bersama yang dibentuk Menperindag, misalnya, praktis mandul karena gagal menumbuhkan sense of crisis ini. Kehebatan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas wacana. Itu pun hangat-hangat tahi ayam. Selebihnya, masing-masing pihak tetap saja asyik menjalani business as usual.***


Jakarta, 9 Agustus 2002

04 Agustus 2002

PMA Tak Bayar Pajak

Tindakan sekian banyak perusahaam penanaman modal asing (PMA) tidak membayar pajak, jelas serius. Dengan jumlah wajib pajak yang mengemplang sekitar 3.500 dari 4.850-an perusahaan PMA saat ini, nilai pajak yang luput mengalir ke kas negara ini sungguh tak bisa dibilang kecil. Seperti kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), potensi kerugian negara akibat pajak yang luput disetorkan sekian perusahaan PMA itu bernilai triliunan rupiah.

Karena itu, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini -- lepas dari berbagai alasan atau dalih mereka -- sungguh tak bisa dipandang remeh. Dari segi ekonomi, kenyataan itu terasa sangat ironis di tengah upaya pemerintah menutupi defisit anggaran. Sementara pemerintah pontang-panting berupaya menambal defisit APBN, sekian triliun rupiah yang mestinya bisa ditarik sebagai setoran pajak sejumlah perusahaan PMA menguap begitu saja.

Penerimaan pajak memang kian menjadi tumpuan pemerintah. Dalam RAPBN 2003, misalnya, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp 260,8 triliun. Itu naik 18,8 persen dibanding tahun anggaran berjalan. Dengan penerimaan sebesar Rp 260,8 triliun itu, pada tahun anggaran mendatang penerimaan pajak ditargetkan memberi kontribusi sebanyak 73,7 persen terhadap belanja negara.

Beban itu pula yang membuat pemerintah begitu membabi-buta melakukan pemungutan pajak ini. Sampai-sampai berkembang sinisme di masyarakat: bahwa dalam melakukan pengumpulan pajak, pemerintah sudah seperti berburu di kebun binatang.

Justru itu, ujung-ujungnya, pemungutan pajak ini membuat rakyat semakin terbebani. Bukan saja kian banyak jenis barang dan jasa dikenai pajak, melainkan juga tarif sejumlah jenis pajak pun didongkrak.

Sejalan dengan itu, juga sebagai upaya menekan defisit anggaran, subsidi-subsidi terus dipangkas atau bahkan dihapuskan. Tak bisa tidak, karena itu, beban yang harus dipikul rakyat sungguh kian berat.

Karena itu, rasa keadilan di masyarakat pun langsung terkoyak ketika tiba-tiba terungkap bahwa sekitar 70 persen investor asing ternyata tak membayar pajak. Alasan yang disebut-sebut melatari kenyataan itu -- jajaran perusahaan PMA bersangkutan tak menuai untung alias merugi -- sungguh sulit diterima. Lebih-lebih karena mereka terindikasi melakukan menipulasi harga barang (transfer pricing). Seperti kata Kakanwil Pajak VII Muhammad Said, transfer pricing mereka lakukan sebagai trik untuk merekayasa laporan keuangan hingga jadi seolah-olah merugi. Dengan demikian, memang, mereka terbebas dari kewajiban menyetor pajak.

Walhasil, sebenarnya, sekian banyak perusahaan PMA ini memang sengaja menghindari kewajiban membayar pajak yang tegas-tegas digariskan undang-undang. Dengan kata lain, mereka tak memiliki itikad baik selaku wajib pajak. Mereka sama sekali tak hirau oleh kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah.

Memang, kalangan perusahaan PMA sulit diharapkan menunjukkan komitmen atau kepedulian besar terhadap kesulitan keuangan yang kita hadapi dewasa ini. Nasionalisme Indonesia nyaris musykil tumbuh dalam diri mereka. Bagi mereka, yang penting investasi bisa terus bergulir lancar dan menghasilkan keuntungan optimal tanpa digerogoti banyak pengeluaran -- termasuk pajak. Sementara soal kesulitan keuangan negara yang dihadapi pemerintah, itu bukan sesuatu yang harus turut mereka pikirkan. Masalah itu semata urusan pemerintah dan rakyat Indonesia.

Menghadapi sikap-tindak seperti itu, kita dipaksa harus mafhum. Kita dipaksa menyadari bahwa kalangan perusahaan PMA, bagaimanapun, adalah warga asing di negeri ini.

Tetapi ketika sikap-tindak mereka sudah bersentuhan dengan soal kewajiban, kita tak bis mafhum. Terlebih, seperti soal pajak, jika kewajiban itu merupakan amanat undang-undang. Kita tak boleh menoleransi siapa pun -- termasuk warga asing seperti perusahaan PMA -- mengabaikan kewajiban yang digariskan undang-undang.

Itu berarti, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini tak boleh kita biarkan -- apalagi karena keuangan negara sangat menuntut setoran pajak benar-benar optimal. Kita tak boleh menyerah begitu saja oleh kenyataan bahwa untuk mengungkap praktik transfer pricing yang dilakukan kalangan perusahaan PMA ini -- sebagai siasat mereka menghindari kewajiban membayar pajak -- sungguh bukan perkara mudah. Bagaimanapun, upaya ke arah pembuktian praktik transfer pricing ini harus kita lakukan -- meski untuk itu dibutuhkan banyak waktu dan energi.

Kita sangat berharap, Ditjen Pajak sependapat dengan kita: bahwa adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini harus ditelusuri dan diteliti. Kita juga berharap, semangat Ditjen Pajak mengayun langkah ke arah itu benar-benar menggebu dan tak cepat loyo.

Dengan berbagai reka-upaya, potensi lolosnya penerimaan pajak dari tangan perusahaan-perusahaan PMA ini harus kita selamatkan. Dengan demikian, masalah defisit APBN sedikit banyak akan terbantu teratasi.

Jakarta, Agustus 2002

02 Agustus 2002

Keppres Angin Surga

Keppres Nomor 56/2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ternyata tak istimewa. Jauh dari harapan. Isi Keppres itu terkesan setengah hati. Bahkan seperti sekadar basa-basi. Bahwa pemerintah tak hanya mengurusi tumpukan utang konglomerat, melainkan juga memiliki kepedulian terhadap nasib UKM yang dililit kredit bermasalah. Titik. Sementara untuk keperluan operasional mengangkat nasib kalangan UKM, Keppres Nomor 56/2002 adalah macan ompong.
Juga tak punya taji.

Betapa tidak, karena sekadar tentang besaran
diskon atas utang pokok saja Keppres
Nomor 56/2002 ini tak berani menyebut
angka. Pemerintah, seperti kata Mennegkop/UKM Alimarwan Hanan, berkilah bahwa soal itu sudah diatur dalam ketentuan lain: UU Nomor 25/2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas).

Tapi soal itu pun masih mengambang atau samar. Keppres Nomor 56/2002 hanya menyebut UU Propenas sekadar sebagai bab "mengingat". UU Propenas tak tegas ditunjuk sebagai sumber rujukan utama mengenai angka diskon atas utang pokok yang berhak dinikmati kalangan UKM.

Justru itu, pemerintah terkesan ingin berlepas tangan mengenai soal insentif berupa diskon utang ini. Kesan itu kian kental karena soal tersebut -- juga soal insentif bebas bunga dan bebas denda ataupun opsi lain restrukturisasi kredit -- sejatinya diserahkan kepada kebijakan pihak bank dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku kreditor.

Tak bisa tidak, karena itu, Keppres Nomor 56/2002 pun seperti cuma angin surga -- karena sekadar menjanjikan insentif bagi UKM yang membayar tunai utang mereka dalam tampo enam bulan sejak Keppres itu terbit. Sementara insentif itu sendiri -- entah berupa potongan utang pokok, bebas bunga dan bebas denda, atau perpanjangan waktu pelunasan, diskon beban bunga dan denda, atau juga penambahan fasilitas kredit -- tak lebih merupakan "kucing dalam karung". Karena semua bergantung hasil negosiasi UKM debitor dengan pihak bank atau BPPN selaku kreditor.

Celakanya, seperti kita tahu, posisi tawar UKM dalam berhadapan dengan pihak kreditor ini sulit diharapkan kokoh kuat. Terlebih sebagai debitor bermasalah, posisi tawar UKM jelas lembek. Justru itu, hasil restrukturisasi utang mereka pun lebih banyak bergantung pada kemurahan hati pihak debitor.

Celakanya pula, kita tak bisa berharap banyak bahwa pihak debitor benar-benar memiliki mental murah hati bak sinterklas. Menilik sikap-tindak mereka selama ini terhadap UKM, barangkali musykil mengharapkan mereka rela memberikan diskon terhadap utang pokok UKM dalam hitungan sangat signifikan -- jauh di atas 50 persen seperti terhadap utang para konglomerat. Begitu juga mengenai insentif bebas bunga dan bebas denda, boleh jadi mereka bersikap sangat pelit.

Dengan kata lain, dalam konteks restrukturisasi utang ini, pihak UKM cenderung lebih banyak dirugikan. Bahkan pihak debitor -- terutama kalangan perbankan -- barangkali justru lebih mengondisikan utang UKM tak direstrukturisasi hingga menjadi benar-benar macet. Bagi mereka, itu bisa menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan eksekusi sebagaimana selama ini mereka perlihatkan tanpa beban sedikit pun.

Keppres Restrukturisasi Utang UKM sendiri semula sangat diharapkan benar-benar menjadi wahana yang membebaskan kalangan UKM dari jeratan kredit bermasalah akibat krisis ekonomi. Dengan itu, mereka boleh kita harapkan kembali bangkit dan berdaya sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional.

Karena itu, terutama jajaran UKM, sungguh sangat menantikan kelahiran kebijakan tentang restrukturisasi utang mereka ini. Tak heran jika dalam penantian itu, mereka yang semula lancar mencicil kredit pun belakangan ikut-ikutan jadi debitor bermasalah. Itu tak lain karena mereka berharap bisa turut menikmati insentif-insentif pemerintah dalam rangka restrukturisasi utang.

Tapi sejak awal, langkah ke arah itu terkesan tidak mulus. Paling tidak, itu gamblang terlihat dari revisi naskah Keppres yang harus dilakukan hingga 26 kali. Dalam konteks itu, kita tidak menangkap kesan soal niat atau keinginan baik (good will) merumuskan kebijakan yang benar-benar tepat arah dan efektif. Kesan yang kita tangkap justru tarik-ulur berbagai kepentingan.

Kesan itu kian benderang setelah Keppres Nomor 56/2002 resmi diteken Presiden dan dinyatakan efektif berlaku. Keppres tersebut ternyata tak istimewa: hanya menjanjikan "angin surga" alias tak bisa diandalkan efektif membebaskan sekaligus memberdayakan UKM dari lilitan kredit akibat deraan krisis ekonomi.

Kenyataan itu serta-merta menguakkan kesan bahwa pemerintah memang tak sepenuh hati dalam membantu menyelamatkan nasib UKM ini. Tak bisa lain, karena itu, kita bisa mengatakan bahwa pemerintahan sekarang pun tak lebih baik dibanding yang lalu-lalu: sekadar menjadikan UKM sebagai komoditas politik. Pemberdayaan UKM sekadar basa-basi.***

Jakarta, 2 Agustus 2002