12 Juli 2002

Kenaikan Tarif PPh

Apa jadinya jika pemerintah mengikuti saran Dana Moneter Internasional (IMF) -- menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan? Boleh jadi, penerimaan negara serta-merta terdongkrak. Dengan itu, defisit anggaran bisa diharapkan tak terlampau menganga lebar. Dalam APBN 2002, misalnya, defisit ini bernilai sekitar Rp 42 triliun.

Jadi, sepintas, kebijakan menaikkan tarif PPh badan -- yang disarankan IMF sebagaimana tertuang dalam program Aide Memoire II IMF untuk Ditjen Pajak -- memang terkesan strategis. Tapi, soalnya, kebijakan itu dalam skala makro tidak produktif. Juga lagi-lagi menempatkan dunia usaha sebagai sapi perah.

Adalah sudah gamblang adanya bahwa Indonesia kini bukan lagi surga yang menarik bagi penanaman modal. Jangankan asing, bahkan investor lokal sendiri mengeluhkan soal itu. Dalam konteks ini, praktik KKN yang tetap marak. Di sisi lain, aspek keamanan berusaha juga tak senantiasa terjamin. Itu merupakan faktor yang telah melunturkan daya tarik investasi di dalam negeri ini.

Sangat mudah dipahami jika kalangan investor asing pun lantas enggan masuk menanam modal di Indonesia ini. Malah mereka yang selama ini sudah menabur proyek di sini pun mulai banyak yang menimbang kemungkinan angkat kaki dan pindah ke negara lain. Data yang belum lama ini dibeberkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion di DPR jelas gamblang menunjukkan kenyataan tersebut.

Itu pula yang memompa semangat Toemion tetap berupaya memperjuangkan agar fasilitas libur pajak (tax holiday) dan pembebasan pengenaan bea masuk atas barang modal (investasi) bagi investor baru bisa diberlakukan. Fasilitas tersebut memang bisa diharapkan membuat investor (asing) tergerak menabur investasi langsung di dalam negeri -- sekalipun itu masih mengundang perdebatan karena sejumlah negara tetangga sudah telanjur lebih dulu menggelar fasilitas serupa, notabene iklim investasi di negeri mereka relatif jauh lebih baik ketimbang di Indonesia.

Belum lagi perjuangan Kepala BKPM menggolkan kebijakan tax holiday dan fasilitas bebas bea masuk atas barang modal bagi investor baru ini berhasil -- karena banyak pihak keberatan atas keyakinan bahwa kebijakan itu tak produktif bagi penerimaan pajak --, kini tiba-tiba muncul usulan IMF yang serta-merta membuat iklim investasi di dalam negeri kian tak menarik.

Bagi dunia usaha, kenaikan PPh badan yang diusulkan IMF ini -- meski soal angkanya belum disebut -- sungguh langsung terasa menohok: bakal mengurangi margin keuntungan usaha mereka. Padahal margin tersebut, di tengah iklim usaha yang masih belum sehat benar akibat praktik KKN yang memorehkan ekonomi biaya tinggi, sekarang ini sudah relatif kecil.

Karena itu, bagi dunia usaha, mungkin hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh jika usulan IMF tadi diterima pemerintah: menutup dan memindahkan proyek investasi ke negara lain yang lebih kondusif, atau membebankan kenaikan PPh badan ini terhadap harga produk yang mereka hasilkan. Tapi alternatif terakhir pun jelas akan serta-merta menurunkan daya saing produk mereka. Justru itu, sebenarnya, alternatif paling mungkin bagi mereka sebenarnya hanya satu: menutup dan memindahkan proyek investasi ke negara lain.

Pemerintah sendiri belum memberikan sikap terhadap
usulan IMF ini. Konon, usulan tersebut masih dikaji sebuah tim khusus di Depkeu. Di lain pihak, IMF sudah memastikan mengirim tim teknis ke Jakarta pada 23 Juli 2002 yang antara lain akan membahas program Aide Memoire II IMF untuk Ditjen Pajak ini.

Secara teknis, usulan tentang kenaikan tarif PPh badan ini bukan perkara mudah untuk dipenuhi. Bagaimanapun pemerintah harus merevisi UU Perpajakan -- termasuk UU PPh. Padahal undang-undang tersebut baru saja direvisi. Jadi, mungkinkan pemerintah -- bersama DPR -- rela merevisi lagi undang-undang yang belum genap berumur dua tahun itu semata dalam rangka mengakomodasi usulan IMF?

Di sisi lain, patut disadari bahwa usulan itu sendiri boleh jadi bukan tanpa agenda yang tak menguntungkan bagi kepentingan kita. Bercermin pada pengalaman selama ini, cukup banyak kasus menunjukkan bahwa usulan, rekomendasi, ataupun resep pemulihan ekonomi nasional yang diajukan IMF -- notabene diterima dan diterapkan pemerintah kita -- di belakang hari ternyata malah merepotkan kita sendiri.

Sebut saja kasus penundaan proyek panasbumi Karaha Bodas atas rekomendasi IMF pada 1997 di tengah gelombang dahsyat krisis ekonomi dan moneter. Keputusan tersebut ternyata membuat Pertamina digugat Karaha Bodas Company (KBC) selaku pelaksana proyek itu. Tak kepalang tanggung, dalam konteks itu, Pertamina dituntut KBC membayar kerugian senilai 261 juta dolar. Sementara IMF sendiri seolah lepas tangan.

Jadi, kita berharap agar pemerintah bersikap kritis dan waspada terhadap usulan terakhir IMF ini. Syukur bila kemudian pemerintah bisa bersikap tegas menolak -- karena kenaikan tarif PPh badan ini sungguh berdampak serius terhadap kegiatan investasi di dalam negeri maupun proses pemulihan ekonomi secara keseluruhan.***
Jakarta, 12 Juli 2002